Minggu, 26 Oktober 2008

Ekonomi India Tinggal Landas
Tata Steel Akuisisi Krakatau Steel
Berita ekonomi awal bulan Mei 2008 yang menarik perhatian dan bahkan
mengejutkan berbagai kalangan di Indonesia adalah berita bahwa Tata Steel dari India
berminat untuk mengakuisisi Krakatau Steel (Bisnis Indonesia, 9 Mei, 2008, halaman 1).
Ditambahkan bahwaTata Steel dari India
berminat untuk mengakuisisi Krakatau Steel (Bisnis Indonesia, 9 Mei, 2008, halaman 1).
Ditambahkan bahwa Tata Steel akan bertemu dengan Menteri Perindustrian RI pada
pertengahan Mei ini untuk menyampaikan minat akuisisinya tersebut. Berita ini menarik
karena disatu pihak, Krakatau Steel merupakan salah satu icon dari ekonomi Indonesia,
dan dilain pihak perusahaan yang akan mengakuisisi bukan merupakan korporasi yang
biasanya akan datang dari negara yang telah maju tetapi korporasi yang datang dari India
yang merupakan sesama negara yang masih membangun. Berita ini juga mengejutkan
karena baru satu dasawarsa yang lalu Indonesia masih dianggap sebagai salah satu negara
dari Asian Miracle sedang India masih dianggap sebagai negara yang pertumbuhannya
lamban. Bahkan pada pertengahan tahun 1990an telah berkembang polemik di kalangan
pengusaha, negarawan, dan akademika terkemuka Asia tentang India yang sebagai negara
demokratis tumbuhnya lamban sedangkan China sebagai negara yang waktu itu lebih
otokratis dapat tumbuh dengan kecepatan sangat tinggi. Teori yang dominan saat itu dan
sampai sekarang adalah bahwa suatu negara akan lebih mungkin tumbuh dalam sistem
politik yang demokratis daripada yang otokratis.
Tanda-tanda bahwa India telah mulai tumbuh sebagai ekonomi yang harus
diperhitungkan, paling tidak di kawasan Asia, sebenarnya tidak bermula dengan minat
Tata Steel untuk mengakuisisi Krakatau Steel. Pada tahun 2007, Tata Power, salah satu
perusahaan dari Kelompok Tata, telah mengakuisisi sebagian dari pertambangan batu
bara milik Bumi Resources (Kelompok Bakrie). Gerakan gencar lain dari korporasi India
dan yang lebih nyata bagi masyarakat Indonesia adalah upaya pemasaran sepeda motor
Pulsar yang diproduksi kelompok usaha Bajaj. Selama empat dasawarsa terakhir
masyarakat Indonesia hanya mengenal kendaraan roda tiga “bajay” sebagai kendaraan
umum bagi masyarakat pendapatan menengah ke bawah. Munculnya Pulsar 200cc
dengan harga Rp 18 juta telah dapat menyaingi sepeda motor Tiger buatan Honda yang
harganya Rp 23 juta. Bajaj telah mulai memasarkan Pulsar 220 cc dan sedang
memikirkan untuk memasarkan Pulsar 300cc. Bahkan Bajaj saat ini mentargetkan
penguasaan pasar sepeda motor Indonesia, yang merupakan pasar sepeda motor ketiga
terbesar di dunia, untuk terlebih dahulu menandingi dominasi sepeda motor Jepang.
Sasaran berikutnya adalah negara-negara di Asia lainnya dan negara-negara Amerika
Latin. Berbagai korporasi India lainnya juga telah memperluas sayapnya keseluruh
belahan dunia. Misalnya, Bharti Airtel, sedang menandingi China, khususnya China
Mobile, untuk memasuki pasar telekomunikasi Afrika Selatan.
Pertumbuhan Ekonomi India Ditopang Oleh Kemajuan Teknologi dan SDM
Kemajuan dan gencarnya para korporasi India telah ditopang oleh kemajuan yang
mendasar di bidang teknologi dan sumber daya manusianya. Suatu prestasi yang telah
mengejutkan dunia adalah ketika India mampu menghasilkan bom nuklir pada akhir
tahun 1990an. Suatu prestasi lain di bidang pengembangan teknologinya adalah pusat IT
di Bangalore yang juga disebut sebagai “Silicon Valley” India. Di bidang teknologi
persenjataan moderen India juga telah semakin maju. Pada tanggal 14 Mei, 2008,
Page 2
Perdana Menteri Mamohan Singh telah meresmikan DRDO (Defence Research and
Development Organisation/Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertahanan) India
mengatakan bahwa industri nasional India akan dalam waktu dekat mampu untuk
mengembangkan teknolgi mutakhir senjata robotics, sensor dan stealth (teknologi untuk
pesawat tempur yang tidak dapat dideteksi radar). Sementara itu, di bidang
pengembangan sumber daya manusia, India telah berhasil membuat negaranya menjadi
sasaran “outsourcing” (mengontrakkan pekerjaan suatu perusahaan kepada tenaga
perusahaan lain) oleh negara IT utama seperti AS, selain telah memungkinkannya untuk
menopang kemajuan industri teknologinya sendiri, seperti di Bangalore. Keberhasilan
India di bidang SDM ini disebakan oleh strategi pembangunan pendidikannya yang
memprioritaskan pendidikan ketrampilan tinggi untuk beberapa kelompok siswa tertentu
daripada strategi pembangunan pendidikan dasar seperti wajib belajar 6 tahun dan
sekarang 9 tahun yang diterapkan di Indonesia.
Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi India untuk beberapa tahun setelah 1984 di tunjukkan pada
Tabel I di bawah. Pertumbuhan ekonomi India yang rata-rata di atas 8,0% terjadi setelah
tahun 2002. Pertumbuhan yang secara konsisten tinggi ini sebenarnya berkaitan erat
dengan perkembangan sektoralnya dan dengan dengan langkah-langkah reformasi
ekonomi yang telah dilakukan sejak tahun 1984.
Tahun
Pertumbuhan
Ekonomi (%)
1985
4,5
1986
4,1
1987
3,6
1988
10,1
1989
6,7
2000
4,0
2001
5,9
2002
3,9
2003
8,6
2004
7,6
2005
8,2
2006
9,1
Sumber: Economywatch.com
Pertumbuhan ekonomi India itu disertai oleh pertumbuhan sektoral yang
semestinya terjadi di negara-negara berkembang yaitu pertumbuhan industri dan jasa-
jasa yang relatif tinggi dan pertumbuhan sector pertanian yang relatif rendah. Pada tahun
2006 pertumbuhan ekonomi sebesar 9,1 % disertai oleh pertumbuhan sektor industri
sebesar 10,5 %, sector jasa-jasa, seperti hotel, restoran dan transpor, sebesar 10,7 %,
sektor pertanian sebesar 1,7 % dan sektor infrastruktur sebesar 7,8 %. Walaupun
pertumbuhannya lebih rendah daripada sector industri, pertumbuhan sektor pertanian
dapat menopang pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan melalui produksi pangan
yang terus meningkat. Dengan tahun dasar 1981 (1981 = 100), maka produksi beras telah
Page 3
meningkat dari 149 pada tahun 1990 menjadi 171 pada tahun 2004, dan produksi gandum
meningkat dari 156 pada tahun 1990 menjadi 204 pada tahun 2004. Pertumbuhan
ekonomi yang terutama tinggi sejak tahun 2003 tersebut juga ditopang oleh tingginya
tingkat tabungan masyarakat sebesar rata-rata 32 % terhadap PDB, terdapatnya “dividen
demografi” (meningkatnya kelompok penduduk usia kerja) yang disertai dengan
kebijakan peningkatan sumber daya manusia yang cukup berhasil.
Pertumbuhan ekonomi yang secara konsisten tinggi sejak tahun 2003 juga
dilatarbelakangi oleh adanya langkah liberalisasi sejak tahun 1984. Sebelum tahun 1984,
kebijakan ekonomi India didominasi oleh pengembangan industri subsititusi impor yang
membutuhkan banyak kebijakan proteksi atas industri dalam negeri melalui berbagai
kebijakan perizinan (dikenal sebagai “license raj” = rejim perijinan). Karena kebijakan
perijinan ini hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang rendah, maka pada tahun
1984 Perdana Menteri Rajiv Gandhi (dari Congress Party) mengecualikan sekitar
duapuluhlima jenis industri dari keharusan mengikuti kebijakan perijinan ini dan
mengadakan langkah liberalisasi bagi banyak cabang industri lainnya. Pada tahun 1991,
karena kesenjangan investasi dalam negeri dengan tabungan dalam negeri yang semakin
besar, maka Perdana Menteri Rarashima Rao (dari Bharatiya Janata Party) mengambil
langkah-langkah liberalisasi yang jauh lebih luas lagi dengan misalnya mengecualikan
kebijakan perijinan bagi semua cabang industri dan membuka luas pintu untuk investasi
asing. Langkah-langkah inilah merupakan embrio dari perekonomian India “go global”
yang dampak mikronya terlihat antara lain dari upaya Tata Steel mengakuisis Krakatau
Steel di Indonesia.
Pertumbuhan Ekonomi India Bukan Tanpa Masalah
Dalam sistem politik India yang menganut sistem kabinet parlementer (Presiden
hanya sebagai Kepala Negara sedang Kepala Pemerintahan dipegang oleh Perdana
Menteri) maka setiap kebijakan pemerintah yang bersifat strategis, seperti langkah
liberalisasi, harus melalui proses perdebatan publik yang sengit terutama di tingkat
parlemen. Dalam hal ini, walaupun Congress Party dan Bharatiya Janata Party sehaluan,
pihak oposisi yang terdiri dari partai politik berhaluan sosialis semakin menentang
langkah liberalsisasi lebih lanjut. Hal ini akan menghambat pembukaan lebih lanjut dari
ekonomi India ke ekonomi global dan selanjutnya akan mengurangi peluang untuk
pertumbuhan ekonominya.
Selain itu, motor utama dari pertumbuhan ekonomi India, terutama sejak 1991,
adalah perusahaan besar dan menengah, termasuk kelompok Tata dan Bajaj, yang
umumnya dikelompokkan dalam sektor formal. Walaupun, pertumbuhan dari sektor
formal ini mempunyai potensi untuk ikut menarik pertumbuhan dari sektor informal
(melalui “trickle down effect”), kenyataannnya sebagian besar dari sektor informal ini
mengamali peningkatan kesejahteraan yang masih jauh tertinggal. Belum berhasilnya
pertumbuhan ekonomi India yang tinggi ini untuk mempunyai “trickle down effect” yang
cukup besar juga terlihat pada masih tingginya tingkat kemiskinan. Dari data yang
tersedia, tingkat kemiskinan di India memang telah turun dari 50% (1970an) menjadi
38% (1991), namun jumlah ini masih sangat besar apalagi kalau ditinjau dari angka
absolutnya yaitu dari jumlah penduduk India yang mendekati satu milyar orang.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata juga belum dapat menyelesaikan
masalah adanya kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar negara-bagian. Suatu studi
Page 4
(Catriona Purfield, “Mind the Gap – Is Economic Growth in India Leaving Some States
Behind?”, IMF Working Paper), telah menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan
antara negara-negara bagian yang kaya dan negara-negara bagian yang miskin telah
menjadi semakin melebar, bahwa negara-negara bagian yang miskin kurang berhasil
dalam menarik investasi swasta dan dalam menciptakan lapangan kerja, bahwa adanya
mobilitas modal dan tenaga kerja antara berbagai negara bagian ternyata tidak
mempunyai dampak yang berarti bagi penurunan kesenjangan pendapatan antara negara
bagian (catatan: temuan ini berbeda dengan pandangan Michael Spence ketika
menyampaikan presentasinya di Bappenas), dan bahwa negara-negara bagian yang
miskin mengalami fluktuasi pertumbuhan ekonomi yang paling besar.
Beberapa Catatan Tentang Pertumbuhan Ekonomi India dan Maknanya Bagi
Perekonomian Indonesia.
Ekonomi India yang pertumbuhannya nampaknya akan terus berlangsung pada
tingkat yang tinggi dapat dikategorikan sebagai perekonomian yang menurut teori
tahapan pertumbuhan ekonomi (W.W. Rostow, Stages of Economic Growth) telah
mencapai tahap “tinggal landas”. Syarat-syarat tinggal landas, yaitu tingkat tabungan
yang minimal 5% terhadap PDB, berkembangnya beberapa industri unggulan, dan
adanya sistem politik dan sosial budaya yang menopang pertumbuhan, telah terpenuhi.
Dilain pihak, syarat yang dikemukakan Spence (Michael Spence, Paparan di Bappenas)
untuk mencapai “sustained high and inclusive growth” belum sepenuhnya terpenuhi. Ini
disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi India yang tinggi belum disertai oleh cukup
meningkatnya kesejahteraan sektor informal dan masih banyaknya negara bagian yang
tertinggal. Bagi Indonesia hal ini merupakan pelajaran bahwa tujuan mencapai
pertumbuhan ekonomi tinggi yang kurang didesain secara cermat cenderung disertai oleh
adanya berbagai kesenjangan ekonomi dan sosial, yang karena sifatnya yang tidak
inklusif ini dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi itu sendiri menjadi tidak
berkelanjutan. Hal ini perlu diwaspadai mengingat diterapkannya desentralisasi/otonomi
daerah dapat membangkitkan ego daerah yang tinggi sehingga akan menuju pada makin
besarnya kesenjangan ekonomi antar daerah.
Perbedaan sistem politik India dan Indonesia dapat lebih menguntungkan upaya
peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebagaimana dibahas di atas, walaupun
sama-sama negara yang demokratis, sistem pemerintahan India berbentuk kabinet
parlementer yang dipimpin seorang perdana menteri, sedangkan yang di Indonesia
merupakan kabinet presidensial yang dipimpin seorang presiden. Dalam pada itu, proses
pengambilan keputusan suatu kebijakan publik, akan melibatkan pembahasan publik
yang lebih panjang dan keras pada sistem kabinet parlementer daripada di sistem kabinet
presidensial. Contohnya, di India, langkah-langkah yang harus cepat diambil untuk
menggerakkan roda ekonomi sempat terhambat oleh keberatan dari berbagai partai
oposisi atas pandangan partai yang berkuasa saat itu (Bharatiya Janata Party).
Namun pengalaman India yang hikmahnya perlu dipetik Indonesia adalah bahwa
motor pertumbuhan ekonomi terletak pada semangat berwiraswata dari dunia usahanya.
Bagi Indonesia, yang dalam RPJPN 2005-2025, akan mewujudkan bangsa yang berdaya
saing melalui perkuatan perekonomian domestik yang berorientasi dan berdaya saing
global (RPJPN Butir IV.1.2.) ini berarti harus semakin bangkitnya dunia usaha yang juga
dapat bertanding di arena global.

jurnal ekonomi

Dampak Krisis Keuangan Global Bagi Indonesia Tidak Terlalu Besar


7 Oktober 2008 | 16:45 WIB


Jakarta ( Berita ) : Pengamat ekonomi Eric Sugandi mengatakan, krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa yang berdampak negatif terhadap negara-negara lainnya, tidak berimbas terlalu besar bagi Indonesia.

Hal ini disebabkan net ekspor Indonesia ke luar negeri hanya 10 persen dari total produk domestik bruto (PDB), kata ekonom dari Standard Chartered Bank ini, di Jakarta, Selasa [07/10] .

Ia mengatakan, ekspor Indonesia ke luar negeri terdiri dari migas dan non migas. Dari 80 persen hasil non migas Indonesia hanya 12 persen di ekspor ke Amerika Serikat, jadi pengaruhnya tidak besar.

Pasar ekspor utama Indonesia adalah Jepang dan Singapura, kedua negara tersebut sangat merasakan dampaknya dari krisis keuangan global itu. “Dampak ikutan itu yang dikhawatirkan akan memberikan pengaruh yang sangat tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,” jelasnya.

Karena itu, lanjut dia, pemerintah harus dapat menjaga konsumsi rumah tangga yang nilainya cukup besar sekitar 60 persen dari total PDB. Kami optimis pemerintah telah memperhitungkan hal tersebut dan segera melakukan berbagai kesiapan untuk menjaganya lebih jauh, ujarnya.

Pemerintah, katanya, juga harus cepat melakukan kebijakan lain seperti mendorong pertumbuhan sektor riil yang selama ini dinilai masih berjalan di tempat dan memberikan kemudahan investasi yang lebih baik agar investor asing merasa senang, nyaman dan mudah menanamkan dananya.

Apabila ini bisa terjadi maka pertumbuhan ekonomi nasional akan tetap tumbuh di atas 6 persen, meski gejolak krisis keuangan di Amerika Serikat dan Eropa masih belum reda, katanya.

Ke depan, menurut dia, Indonesia akan semakin tumbuh didukung oleh turunnya harga komoditi dan energi khususnya minyak mentah dunia yang saat ini mencapai di bawah 90 dolar AS per barel.

Jadi tekanan krisis keuangan global itu akibat kepanikan pelaku pasar, meski pemerintah AS telah mendapat persetujuan kongres mendapat dana talangan sebesar 700 miliar dolar AS, katanya.

Sementara itu, Managing Director Advisory Group in Economics, Industry and Trade (Econit), Henry Saparini mengatakan, pemerintah diminta tidak hanya memompa sikap optimistis menghadapi krisis keuangan di Amerika Serikat dan Eropa.

Pemerintah harus mampu mengamankan sistem ekonomi secara menyeluruh, karena ekonomi dalam negeri saat ini lebih rapuh dibanding krisis 1998, katanya.

Ia mengatakan, sikap optimistis bahwa kondisi ekonomi cukup kuat menghadapi krisis, justru bisa berakibat buruk karena secara riil ekonomi nasional sangat tidak kondusif.

“Yang penting dari semua itu adalah perlunya optimalisasi dan percepatan pencapaian target dari berbagai program yang telah dijalankan, termasuk mempercepat reformasi birokrasi,” katanya.

Ia juga menyoroti, sistem birokrasi yang masih belum dapat dikendalikan dengan baik mengakibatkan daya saing produk dan jasa yang dihasilkan di dalam negeri sulit untuk bersaing baik di pasar internasional maupun di dalam negeri.

“Tidak mudah kembali ke produk dalam negeri, karena produk impor murah dan berkualitas sudah merajai pasar dalam negeri. Ini artinya pemerintah harus lebih serius dalam mengatasi masalah-masalah ekonomi domestik, dengan menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas lagi,” ucapnya. ( ant )

Artikel dalam kategori : Ekonomi