Minggu, 02 November 2008


Republika - Senin, 13 Oktober 2008 pukul 07:13:00

Bayangkan anda pemilik perusahaan sehat yang menerbitkan 30 persen sahamnya di pasar modal.Proses produksi perusahaan anda bekerja normal, tiap tahun laba tumbuh, likuiditas tidak bermasalah sehingga tak pernah kesulitan membayar gaji karyawan atau belanja perusahaan.Tetapi tiba-tiba aset perusahaan jatuh tertimpa amblasnya harga 30 persen saham di bursa setelah investor melepasnya tanpa mengindahkan baiknya fundamental perusahaan anda.

Bagaimana perasaan anda? Tidak adil bukan? Tetapi ini yang terjadi pada pasar modal global di mana General Motors, Morgan Stanley dan banyak perusahaan sehat di AS dan Eropa mengalami erosi aset padahal tak ada yang salah dalam fundamental mereka.Mereka adalah korban dari kekalutan berbalut keserakahan yang disebarkan para pengail untung di pasar modal yang mencampakkan fundamental emiten, diantaranya lewat pola “short selling.”

Time, dalam edisi 12 September 2008 menulis, setiap kali pasar finansial runtuh maka telunjuk tuduhan diarahkan ke “short selling” karena meski legal, pola transaksi saham ini kerap membuat pasar yang oleng semakin terjun ke jurang kebangkrutan.”Para pelaku ’short selling’ itu penjarah di reruntuhan,” tuduh Andrew Cuomo, Jaksa Agung New York, AS.

Tidak heran, saat “bailout” miliaran dolar AS tak menghasilkan apa-apa dan malah menghancurkan perusahaan-perusahaan sehat di banyak negara, Financial Service Authority Inggris (FSA) mencucuk “short selling” karena menjadi biang kerok rontoknya bursa London. “(Larangan) ini untuk melindungi integritas dan kualitas fundamental bursa serta menjaga sektor keuangan agar tidak terus-terusan goyah,” terang Kepala FSA Hector Sants seperti dikutip Huffington Post (12/10).Bursa London dan Wall Street tidak memilih suspensi (penghentian sementara transaksi saham) karena mungkin dianggap pemurtadan pasar bebas, tetapi memilih mengunci gerbang “short selling.”

Risiko
Peraih Nobel Perdamaian asal Bangladesh, Muhammad Yunus menilai, kapitalisme yang wujud kasarnya terekspresi di pasar modal telah menjadi kasino atau tempat judi. Dan “short selling” adalah layar untuk menerangkan bagaimana praktik judi itu terjadi.Mengutip BBC, “short selling” adalah upaya investor membeli aset satu emiten atau lebih untuk dijual di bursa dengan harapan harganya jatuh, lalu mereka membeli kembali (buy back) pada harga jatuh itu.

Mereka kemudian membayar perusahaan penerbit atau kreditor saham pada harga jatuh, padahal nilai riil perusahaan lebih dari itu.Investor mengusai aset perusahaan pada harga berlipat tanpa menginjeksikan sepeser pun dana ke perusahaan itu.

Mereka mentransaksikan risiko aset tanpa benar-benar menguasai aset, namun berkuasa dalam merekayasa harga aset dengan mengeksploitasi ekspektasi, memanipulasi prediksi dan mendramatisasi informasi untuk menggiring pasar membentuk harga disasar.Bayangkan jika anda pelaku perdagangan berjangka atau kontrak derivatif aset yang memegang opsi untuk menjual atau membeli saham, indeks, surat utang atau kontrak barang pada syarat telah ditentukan namun belum menyerahkan uang untuk menyelesaikan transaksi.

Anda menggenggam opsi beli pada harga Rp10.000 dan opsi jual pada harga Rp15.000, namun anda ingin membeli di bawah Rp10.000 dan menjualnya di atas Rp15.000. Maka, yang anda lakukan adalah mengelola sentimen dan informasi untuk memengaruhi atau bahkan merusak ekspektasi harga aset sampai semua orang terdorong melepas aset sejenis dengan anda pegang.

Setelah investor lain melepas aset yang harganya sudah teramputasi, anda menangkap kembali aset itu melalui “buyback” sehingga aset itu kini dikuasai anda dengan ongkos rendah dan kekuasaan besar dalam menentukan harga jual di kemudian waktu.Ketika anda menginginkan untung, maka aset anjlok itu dijual pada harga tinggi di satu momen yang ditentukan oleh anda. Hasilnya, anda pulang ke rumah sebagai OKB (orang kaya baru) sambil menjinjing aset perusahaan tanpa sepeser pun modal anda di neraca perusahaan itu.

Mungkin dalam konteks inilah, Bursa Efek Indonesia (BEI) memutuskan mensuspensi perdagangan saham di hampir sepekan kemarin karena pergerakan bursa sudah irasional dan kentara mencoret-coret kertas yang sudah terisi rapi. Kepada Metro TV akhir pekan lalu, Direktur Utama BEI Erry Firmansyah menandaskan, suspensi BEI tidak ditempuh karena otoritas bursa panik, melainkan karena melihat perdagangan saham sepekan kemarin sudah tidak normal.

Erry benar, karena alangkah tidak bermoral jika BEI membiarkan spekulasi yang tak memiliki kaitan dengan fundamental pasar, merusak aset perusahaan untuk kemudian menularkan wabah krisis ke keseluruhan perekonomian. “Kami tak bisa membiarkan situasi kalut mengendalikan pasar kita,” kata Ketua Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) A. Fuad Rachmany (Antara, 10/10).

Suku bunga
Sementara itu, sejumlah kalangan yang khawatir krisis keuangan global menjalar ke perekonomian Indonesia agaknya terlalu fokus mengambil fluktuasi harga saham sebagai titik tolak menyampaikan kekhawatirannya.Padahal, melulu melihat gejolak di bursa ketika kontribusi perdagangan saham pada perekonomian nasional tidak signifkan adalah agak berlebihan, apalagi makroekonomi Indonesia berbeda sekali dengan semasa krisis moneter 1998.

Sebagian menjadi tidak sabar untuk kemudian menghubung-hubungkan gejolak bursa dengan miskinnya insentif untuk sektor riil dan ujung-ujungnya mendesak bank sentral menurunkan suku bunga.Masalahnya, selama sepuluh tahun terakhir perbankan nasional telah melangkah lebih hati-hati dalam mengelola kredit meski membuat sektor riil kesulitan likuiditas. Ini menjadi bukti ada perubahan di perbankan Indonesia dibanding semasa krisis moneter 1998.

Sepuluh tahun lalu, bank-bank sembarangan menyalurkan kredit, tetapi tahun-tahun belakangan ini mereka hati-hati sekali ketika mendistribusikan kredit maupun mengail dana pihak ketiga, entah dari masyarakat atau asing.Saat bersamaan, Bank Indonesia mencermati ketat kondisi ini melalui instrumen suku bunga dan tingkat inflasi untuk memastikan tidak ada satu pun yang keluar jalur.

Bank sentral, dan hampir semua organ perekonomian nasional, agaknya belajar dari masa lalu saat Indonesia gampang takluk pada referensi asing yang kadang tak menjawab kebutuhan perekonomian nasional.Tak heran jika Bank Indonesia enggan menggubris rengekan agar suku bunga diturunkan karena mereka memahami fundamental sekaligus rembetan dampaknya terhadap perekonomian jika suku bunga turun.

Mandiri
Puncaknya, pada 7 Oktober 2008, berseberangan dengan bank-bank sentral global yang serempak menurunkan suku bunga, BI menaikkan BI Rate 25 basis poin menjadi 9,50 persen.BI menyatakan, keputusan itu diambil setelah mencermati dan mempertimbangkan dengan saksama perkembangan keuangan dan ekonomi global serta kemungkinan dampaknya terhadap perekonomian nasional.”BI juga mencermati secara mendalam prospek perkembangan permintaan domestik, neraca pembayaran dan resiliensi sektor keuangan dalam negeri dalam konteks perubahan lingkungan global,” kata Gubernur Bank Indonesia Boediono dalam siaran persnya hari itu.

Dalam dunia yang interdependen tetapi tidak ada pihak luar yang mampu menjamin stabilitas perekonomian Indonesia terjaga, manuver menurunkan suku bunga sangat berisiko.Jika bunga diturunkan, maka masa depan surat-surat berharga terancam karena eksposur dana dalam obligasi Indonesia mungkin lari ke wilayah lebih atraktif.

Jika itu terjadi, meranalah Indonesia. Agak aneh memang, menurunkan daya tarik investasi ketika bunga The Fed justru turun, lagi pula Indonesia tidak sedang didera krisis likuiditas seperti terjadi semasa krisis moneter 1998.Lebih dari itu, apa yang sedang dikerjakan otoritas kebijakan ekonomi mestinya dilihat sebagai bagaimana persoalan nasional dilihat lebih dulu dari keadaan dan tuntutan domestik, bukan semata mengikuti kecenderungan global.

Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, telah berani mempercayai resep ekonominya sendiri sehingga, misalnya, ketergantungan pada IMF pun ditanggalkan. Dan jika sekarang inisiatif itu dilanjutkan, sungguh itu yang seharusnya. “Tidak ada yang bisa bantu (Indonesia), semua krisis. Saudagar-saudagar dalam negerilah yang bisa menyelamatkan perekonomian bangsa,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Langkah mandiri ini adalah keniscayaan mengingat dunia mustahil memberi insentif balik kepada Indonesia jika pun kecenderungan global terus diikuti. China saja tidak tanpa pamrih ketika didesak dunia untuk menurunkan suku bunga.
Mengutip Reuters, China bersedia menurunkan suku bunga karena berharap imbalan berupa akses pasar lebih luas dari AS, jaminan Washington untuk berbuat nyata dalam menstabilkan dolar AS (tidak bersiasat) dan diperluasnya peran China dalam IMF.

Belajar dari China, tanpa ada jaminan dunia bakal memberi insentif, mengapa Indonesia mesti latah menurunkan bunga? Kasarnya, meminjam bahasa anak muda, “So what gitu lho! *) A. Jafar M. Sidik/ant/kp

Goncangan Pasar Global dan Urgensi Khilafah


Oleh: Hidayatullah Muttaqin

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang terombang-ambing kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. … “ (T.Q.S. al-Baqarah ayat 275).

A. Pengantar

Jurnal-ekonomi.org - Bursa saham dunia kembali mengalami keanjlokan (crash) luar biasa. Pada perdagangan Rabu (18/6/2008) indeks bursa Eropa mengalami kejatuhan menyusul aksi jual yang dilakukan oleh para penjudi di lantai bursa. Indeks FTSE 100 merosot 1,53%, Indeks Paris CAC 40 turun 1,23%, Indeks DAF 30 Frankfurt turun 0,6%, Euro Stoxx 50 turun 0,98%.

Sementara itu bursa Asia Pasifik mengalami pukulan yang cukup kuat. Indeks Nikei Jepang 225 turun 2%, Indeks S&P/ASX 200 Australia turun 1,1%, Indeks Kospi Korea Selatan turun 1,4%. Indeks Weighted Price Taiwan anjlok 1,5%, Indeks Straits Times Singapura turun 1,3%, dan NZX-50 Selandia Baru turun 1,3%. Indeks Hang Seng Hong Kong jatuh 1,4%, Indeks Gabungan Shanghai anjlok 1,5%, Indeks Gabungan KLSE Malaysia turun 1,5%, sedangkan IHSG Jakarta tertekan 0,2%.

Kerontokan bursa saham dunia terjadi menyusul laporan tentang akan terjadinya kehancuran pasar global (Global Market Crash). Surat kabar Inggris Telegraph (19/6/2008) memberitakan peringatan analis Royal Bank of Scotland (RBS) bahwa bursa global akan mengalami goncangan dalam tiga bulan ke depan sebagai akibat tingginya tingkat inflasi dunia. Analis senior Royal Bank of Scotland, Bob Janjuah mengatakan “sebuah periode yang sangat buruk akan segera menghampiri kita, bersiaplah.”

Secara rasional, dentuman inflasi di seluruh dunia menyebabkan pelemahan daya beli masyarakat internasional. Penurunan sisi demand menyebabkan anjloknya pendapatan perusahaan-perusahaan besar yang tercatat (listing) di bursa efek sehingga kondisi ini memicu aksi jual para “penjudi berdasi” di bursa efek untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

B. Resesi AS

Di AS, gelombang harga minyak dan melemahnya permintaan masyarakat menyebabkan penurunan kinerja perusahaan raksasa ekspedisi FedEx. Kaitan penurunan pendapatan FedEx dengan pasar modal di AS adalah setiap kerugian FedEx berdampak pada penurunan keuntungan (deviden) yang diperoleh para pemegang saham FedEx.

Dalam publikasi Market Wacth (18/6/2008) dilaporkan periode kuartal kedua hingga Mei 2008 FedEx kehilangan pendapatan sebesar US$ 241 juta atau setara Rp 2,217 trilyun dengan kurs Rp 9.200 per dollar AS. Penurunan ini setara dengan penurunan laba per saham FedEx sebesar US$ 78 sen. Untuk periode tahunan, kerugian FedEx mencapai US$ 610 juta (=Rp 5,612 trilyun) setara US$ 1,96 per lembar saham.

Kerugian yang dialami FedEx mencerminkan dua sisi: pertama, turut mendorong penurunan perdagangan saham di Wall Street, AS. Indeks Dow Jones pada perdagangan Rabu (18/6/2008) sempat melemah di bawah level 12.000 yang merupakan posisi terendah dalam 3 bulan terakhir. Sebagaimana diberitakan media, pelemahan di bursa AS ini dipicu oleh pelemahan saham-saham sektor perbankan, otomotif, dan transportasi.

Kedua, sebagai perusahaan jasa kurir yang cukup dominan, penurunan pendapatan FedEx merupakan gambaran semakin turunnya aktivitas pengiriman barang baik di dalam negeri AS maupun di luar negeri. Kondisi ini menggambarkan sektor riil Amerika mengalami pelambatan akibat membengkaknya biaya produksi dan menurunnya daya serap pasar. Kondisi ini merupakan fakta bahwa negara kapitalis terbesar ini mengalami resesi ke arah yang lebih parah.

Sementara itu dalam berita Market Wacth (17/6/2008), Bank sentral AS The Fed melaporkan sektor industri AS mengalami penurunan produksi 0,2 persen. Penurunan ini sebelumnya tidak diperkirakan para ahli ekonomi di AS. Laporan ini menunjukan industri Amerika dalam bulan-bulan mendatang memasuki masa sulit. Pada tahun lalu, produksi industri AS juga mengalami penuruan 0,1 persen (year-over-year) yang merupakan penurunan pertama kali sejak Juni 2003.

Pada pertengahan Maret 2008, Martin Feldstein Ekonom Universitas Harvard yang juga Presiden Biro Nasional Riset Ekonomi AS (NBER), memperingatkan perekonomian AS sudah memasuki resesi yang terparah sejak Perang Dunia II. “Saya yakin ekonomi AS sekarang dalam resesi” kata Feldstein. Paska Perang Dunia II perekonomian AS telah mengalami 10 kali resesi.

Dari sisi fiskal, APBN AS pada 2008 mengalami defisit sebesar US$ 239 milyar (=Rp 2.198,8 trilyun) dengan peningkatan hutang negara 11,74% dalam waktu dua tahun. Tahun 2006 hutang pemerintah AS mencapai US$ 8,451 trilyun (=Rp 77.749 trilyun) dan tahun 2008 membengkak menjadi US$ 9,575 trilyun (=Rp 88.090 trilyun). Ini artinya dalam dua tahun terakhir, setiap hari hutang pemerintah Amerika bertambah US$ 1,539 milyar (=Rp 14,165 trilyun). Sementara dengan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) US$ 14,711 trilyun, (=Rp 135.341,2 trilyun), maka hutang pemerintah Amerika mencapai 65,09 persen sektor riil AS.

C. “Hantu Inflasi”

Dalam ekonomi kapitalis, inflasi selalu menghantui perekonomian negara manapun di dunia. Bahkan Presiden AS era 80-an Ronald Reagen sebagaimana dikutip The Economist (22/5/2008) pernah menyebut inflasi dengan sebutan kejam, perampok, menakutkan, perampok bersenjata, mematikan, dan pembunuh bayaran.

Inflasi bagi sektor finansial bagaikan gelombang kejut yang menjatuhkan indeks bursa saham global, sebagaimana peringatan RBS akan datangnya masa kehancuran pasar modal dunia disebabkan kuatnya tekanan inflasi yang berasal dari melonjaknya harga komoditas minyak mentah (crude oil) dan komoditas pangan.

The Economist (22/5/2008) melaporkan inflasi tahunan terkini di sebagian besar negara mengalami peningkatan yang sangat siknifikan. Cina mengalami inflasi sebesar 8,5% tertinggi selama 12 tahun terakhir. Inflasi di Rusia naik dari 8% menjadi 14%, India 7,8% tertinggi dalam 4 tahun terakhir, Brazil naik dari 3% menjadi 5%, Chile naik dari 2,5% menjadi 8,3%, Venezuela 29,3%. Sementara negara-negara timur tengah penghasil minyak inflasinya tergerek ke dua digit. Menurut The Economist, data-data inflasi ini harus diperbaharui menyusul semakin membumbungnya harga minyak mentah dunia.

Di negara maju seperti Inggris, inflasi tahunan untuk Mei (year on year) mencapai 3,3%. Tingkat inflasi ini jauh melebihi target inflasi tahunan pemerintah Inggris sebesar 2% dan memecahkan rekor inflasi tertinggi yang pernah dialami Inggris sejak Januari 1997. Gubernur Bank of England Mervyn King menyatakan penyebab inflasi yang melampaui target adalah melambungnya harga minyak dan komoditas pangan.

Di Indonesia, dampak kenaikan harga minyak dunia sangat terasa setelah pemerintah “membudakan diri” sebagai abdi pasar bebas dengan menaikan harga BBM rata-rata 28,7%. Menurut BPS, inflasi bulan Mei melonjak menjadi 1,41%. Sementara itu Bank Indonesia melalui Deputi Gubernur BI Hartadi A. Sarwono menyatakan inflasi pada bulan Juni akan tetap terpengaruh penaikan harga BBM. Menurut Dr. Hendri Saparini dalam sebuah seminar ekonomi di Banjarmasin bulan lalu, seharusnya tingkat inflasi jauh lebih besar dari tingkat inflasi yang dilaporkan BPS. Sebab bertambahnya beban masyarakat Indonesia yang mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah tidak dapat digambarkan oleh angka inflasi yang dilaporkan BPS.

Di negara berkembang lainnya seperti Mesir, inflasi menjadi ancaman berat bagi negeri tempat berdirinya Universitas al-Azhar. Menurut statistik yang dikeluarkan pemerintah Mesir, ancaman terlihat dari membumbungnya harga makanan dan minuman hingga 27%, transportasi 20,1%, pendidikan 37,7%, dan pelayanan kesehatan 12,1%. Sementara di Cina harga pangan melonjak 22%.

D. Rontok Karena Ekonomi Setan

Dalam Q.S. al-Baqarah ayat 275, Allah SWt mengatakan: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang terombang-ambing kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila”. Menurut Buya HAMKA dalam Tafsir al-Azhar, orang yang memakan riba bagaikan orang yang kacau, gelisah, dan resah karena kerasukan setan.

Rontoknya pasar modal dunia Rabu lalu (18/6/200) akibat tekanan inflasi merefleksikan ketakutan dan kekacauan para “penjudi berdasi” akan kehilangan laba di lantai bursa. Mereka berbondong-bondong menjual surat-surat berharga sehingga indeks bursa efek di seluruh dunia mengalami pukulan telak hanya dalam satu hari.

Pengalaman krisis subprime mortgage AS sejak 2007 menyebabkan para “penjudi berdasi” kelas kakap mengalami kerugian hebat. Krisis subprime mortgage AS berdampak pada jatuhnya nilai kapital pasar modal berbasis surat berharga perumahan kelas dua di Amerika sebesar 12% atau US$ 2,4 trilyun (=Rp 22.080 trilyun) dari US$ 20 trilyun menjadi US$ 17,6 trilyun.

Standard & Poor’s (9/2/2008) merilis sebuah laporan yang memaparkan pasar modal dunia pada bulan Januari 2008 mengalami kerugian sebesar US$ 5,2 trilyun (=Rp 47.840 trilyun). Kerugian kaum kapitalis ini lebih dari 53 kali penerimaan pemerintah Indonesia dalam APBN-P 2008 (Rp 894,99 trilyun). Analisis Senior S&Ps, Howard Silverblatt mengatakan “Hanya sedikit tempat yang aman selama Januari, dimana 50 dari 52 pasar modal dunia mengakhiri bulan secara negatif, 25 di antaranya kehilangan 2 digit.”

Kerugian sistem keuangan Kapitalisme ini tidak serta merta membuat pelaku sektor keuangan jera bermain riba dan berjudi di lantai bursa. Otak para penjudi yang biasa disebut investor ini sudah tidak waras lagi sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah 275. Kaum kapitalis ini hanya memikirkan laba dan tidak memperdulikan penderitaan orang lain khususnya kesengsaraan masyarakat dengan ulah mereka menggelembungkan uang di lantai bursa.

Buya HAMKA dalam Tafsir al-Azhar memperingatkan bahwa perilaku riba merupakan suatu bentuk kejahatan. Kejahatan riba saat ini tidak lagi semata-mata sebagai pertukaran batil untuk mendapatkan keuntungan yang menyebabkan lawan transaksi mengalami kerugian. Kejahatan riba telah bermetamorfosis menjadi metode penjajahan kaum kapitalis untuk menghisap dan memperbudak masyarakat internasional melalui sistem mata uang kertas inkonvertibel (fiat money), penciptaan uang dalam sistem perbankan (Fractional Reserve system), dan penggelembungan uang dalam transaksi derivatif (derivative transaction) di pasar modal dan pasar uang.

Analis pasar modal Paul B. Farrel di situs Market Wacth menulis sebuah artikel sangat menarik dengan judul Derivatives the New ‘Ticking Bomb’. Dalam artikel tersebut, ia mengulang kembali peringatan yang pernah dilontarkan Warren Buffett lima tahun sebelum krisis subprime melanda AS. Warren Buffet menyatakan pertumbuhan transaksi derivatif yang bersifat masif dan tidak terkontrol dapat menjadi “senjata keuangan pemusnah massa” yang sangat berbahaya.

Peringatan Warren Buffet kini menjadi kenyataan pahit bagi negara-negara di dunia. Krisis subprime mortgage AS yang menyebabkan para fund manager raksasa rugi milyaran dollar AS membawa efek domino berupa krisis finansial yang lebih besar dan merembet pada kejatuhan ekonomi di sektor riil akibat melonjaknya harga minyak dan pangan.

Kerugian hebat di bursa saham tidak membuat nyali “perusak ekonomi” dunia turun. Para penjudi raksasa (fund manager) malah mencari sumber-sumber keuntungan baru untuk memuaskan kerakusan mereka. Selanjutnya mereka menjadikan bursa komoditas sebagai permainan spekulasi. Di tengah penderitaan masyarakat internasional khususnya masyarakat menengah ke bawah, para perusak ekonomi ini meraup untung ratusan milyar dollar AS dari perekayasaan harga minyak mentah dunia di bursa komoditas. Akibatnya harga komoditas paling penting ini mengalami lonjakan luar biasa dan sulit diterima akal sehat.

Betapa tidak, saat perekonomian dunia sedang mengalami kelesuan, industri manufaktur dan jasa transportasi mengalami penurunan, harga minyak mengalami boom. Seolah-olah semua sarana produksi, industri jasa transportasi, dan konsumsi energi rumah tangga mengalami boom pula. Kenyataan ini menggambarkan perkembangan harga minyak mentah sudah tidak sesuai lagi dengan mekanisme supply dan permintaan riil. Sebagaimana yang dikatakan sekjen OPEC, harga minyak melambung disebabkan oleh permainan spekulasi di bursa komoditas dan menurunnya nilai mata uang dollar Amerika.

Dampak dari tren harga minyak yang terus melambung, banyak negara khususnya AS mulai mengubah lahan-lahan pertanian menjadi lahan tanaman penghasil biofuels. Akibatnya produksi tanaman pangan untuk kebutuhan pangan dunia tergerus sehingga menyebabkan membumbungnya harga komoditas pangan di pasar internasional. Dunia pun saat ini diancam rusuh dan kelaparan. Betapa tidak, sejak awal tahun 2008 saja setiap hari 26.500 anak-anak mati setiap hari akibat kelaparan apalagi ketika harga-harga bahan pokok semakin mahal dan semakin sulit diperoleh.

Paul B. Farrel mengingatkan transaksi derivatif di bursa telah menjadi ancaman dunia. Menurut Paul transaksi derivatif merupakan sebuah dunia pasar gelap raksasa yang melebihi lalu lintas transaksi pasar gelap senjata, obat bius, alkohol, judi, rokok, pencurian, dan pembajakan film. Seperti dunia pasar gelap pada umumnya, transaksi derivatif merupakan cara kaum kapitalis menghindari pajak dan peraturan pemerintah untuk memperbesar pundi-pundi kekayaan mereka.

Kenyataan ini mendiskripsikan kepada kita bahwa transaksi derivatif di pasar modal selain batil karena berbasis riba dan judi, juga menjadi metode yang sangat jahat dengan mengunci perputaran uang hanya di dalam lantai bursa. Padahal Allah SWT telah melarang perputaran uang yang hanya terjadi di segelintir orang-orang kaya saja (lihat Q.S. al-Hasyr ayat 7), apalagi perputaran uang yang berbasiskan riba dan judi.

Menurut analisis Paul B. Farrel, perputaran uang di lantai bursa pada tahun lalu melonjak 5 kali lipat dibanding 2002. Pada tahun 2007, perputaran uang yang berasal dari transaksi derivatif mencapai US$ 516 trilyun (=Rp 4,747 juta trilyun) sementara tahun 2002 nilainya mencapai US$ 100 trilyun (=Rp 920 ribu trilyun). Berdasarkan data UNCTAD nilai perdagangan dunia tahun 2006 mencapai US$ 11,982 trilyun (=Rp 110 ribu trilyun), sehingga transaksi derivatif di pasar modal tahun 2007 lebih besar 43,36 kali lipat nilai ekspor-impor dunia tahun 2006.

Sangat tepat sebutan Warren Buffet dan Paul B. Farrel terhadap gelembung uang di pasar modal sebagai senjata pemusnah massa (weapon of mass destruction) karena sifatnya yang merusak dan menghisap. Dalam Q.S. al-Baqarah ayat 279 Allah SWT memperingatkan para pemakan riba seperti pelaku transaksi derivatif dengan ancaman keras, yakni akan diperangi Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT juga mengancam orang-orang seperti para investor di lantai bursa dengan ancaman siksaan yang pedih disebabkan mereka menjadikan uang sebagai alat untuk bermaksiat, memperkaya diri dengan cara memakan riba dan berjudi (lihat Q.S. at-Taubah ayat 34). Bahkan tidak jarang para “penjudi berdasi” ini melakukan penipuan seperti insider trading dan manipulasi laporan keuangan. Skandal penipuan keuangan terbesar di AS yang melibatkan perusahaan raksasa Enron dan Worldcom merupakan salah satu contohnya.

Dalam hadis riwayat Baihaki dan Hakim Rasulullah SAW menegaskan orang-orang yang memakan riba seperti para investor di lantai bursa akan terkena 73 tingkatan dosa riba dan yang paling ringan dosanya seperti seseorang yang menzinai ibu kandungnya.

Rasulullah juga memperingatkan orang-orang yang mengendapkan uang seperti penggelembungan uang di pasar modal dengan ancaman siksaan api neraka, sebagaimana peringatan Rasulullah atas wafatnya seorang ahli suffah yang kedapatan mengendapkan uang 1 dinar. Beliau mengatakan 1 kali celaka. Ketika ada lagi ahli suffah yang meninggal dan ditemukan ia mengendapkan uang sebanyak 2 dinar, Rasul SAW mengatakan 2 kali celaka (lihat Taqiyuddin an-Nabhani dalam Sistem Ekonomi Islam).

Jika terhadap ahli suffah yang notabene orang miskin mendapatkan siksaan di akhirat karena menimbun uang 1-2 dinar, maka tentu saja siksaan bagi para investor pasar modal yang memakan riba, menimbun uang dan menggelembungkan jutaan hingga trilyunan dollar AS di lantai bursa jauh lebih berat dan lebih pedih. Allah SWT berfirman dalam Q.S. at-Taubah ayat 35 dengan terjemahan sebagai berikut: “Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka.”

E. Urgensi Khilafah

Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi dalam Tafsir Sya’rawi Jilid 2 menjelaskan kata takhabbatuth (terombang-ambing) yang terdapat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 275 memiliki pengertian sebagai “keadaan yang tidak seimbang dan tidak terarah”. Makna ini menunjukan perekonomian kapitalis yang berbasis riba akan mengalami ketidakseimbangan (imbalance) baik dari sisi ketidakseimbangan nilai kapitalisasi pasar (bubble economy) di sektor finansial dengan nilai produktivitas (output) sektor riil, ketidakseimbangan antara sekelompok kecil pemilik modal yang menguasai aset riil dan aset keuangan dengan aset yang dimiliki mayoritas penduduk dunia, maupun ketidakseimbangan antara dana yang dialokasikan oleh negara-negara di dunia untuk membiayai kebutuhan publik dengan dana-dana subsidi yang diberikan kepada para pemilik modal di sektor keuangan. Kondisi ketidakseimbangan ekonomi dunia menyebabkan perekonomian bahkan masa depan dunia semakin tidak terarah kecuali penghisapan dan penjajahan.

Krisis finansial dan inflasi dunia merupakan sebuah realitas global yang datang secara berulang-ulang, menyebabkan kesengsaraan dan semakin memiskinkan masyarakat dunia. Kenyataan ini semestinya menggerakan pemikiran umat manusia untuk memahami akar masalah goncangan pasar global. Selanjutnya mendorong mereka mencabut akar masalah tersebut dan menggantinya dengan sistem yang stabil dan tidak eksploitatif.

Dalam konteks penyelesaian masalah yang komprehensif-solutif inilah, sangat relevan bagi masyarakat dunia pada umumnya dan kaum muslimin pada khususnya untuk segera menghadirkan sistem Khilafah sebagai alternatif Kapitalisme. Sistem Khilafah berbeda dengan sistem Kapitalisme yang bersifat destruktif dan eksploitatif. Sistem Khilafah merupakan sistem warisan Rasulullah SAW yang membawa misi rahmatan lil alamin dan bertujuan membebaskan umat manusia dari segala bentuk perbudakan sistem Kapitalisme, menuju penghambaan semata-mata kepada Allah SWT.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Khilafah akan menerapkan konstitusi/perundang-undangan dan kebijakan yang adil bagi seluruh warga negara serta membawa dampak positif bagi seluruh umat manusia. Keadilan sistem Khilafah adalah konsekwensi dari konsep (fikrah) dan metode (thariqah) yang diadopsi dari al-Qur’an dan as-Sunnah di dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan dalam hubungan internasional. Sistem ini berbeda 180 derajat dengan Kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan hawa nafsu dalam bentuk keserakahan modal sebagai panglima kebijakan negara (lihat Q.S. al-Maidah ayat 48).

Jika sistem Khilafah telah berdiri menyapa kaum muslimin dan masyarakat dunia, maka negara segera menghapus segala sistem transaksi dan kegiatan ekonomi yang berbasis riba. Sehingga tidak ada lagi individu, kelompok, bahkan negara asing seperti Amerika dan Jepang, yang hidup dari penghisapan harta. Sistem Khilafah akan mengubah pola perekonomian Kapitalis yang semu (bubble economy) menjadi perekonomian yang bergerak dari aktivitas produksi (pertanian dan industri), perdagangan dan jasa, serta konsumsi dalam batas koridor syara (lihat Q.S. al-Baqarah ayat 275).

Untuk memudahkan transaksi ekonomi dan memberikan penghargaan yang tinggi atas produktivitas dan jerih payah kerja manusia, sistem Khilafah akan menghapus sistem mata uang kertas dan menggantinya dengan sistem mata uang syari yaitu dinar dan dirham. Sistem mata uang ini berbasiskan logam mulia emas dan perak sehingga siapa pun yang menerima pembayaran dalam mata uang dinar dan dirham, dapat dipastikan nilai kekayaannya stabil sepanjang masa.

Stabilitas nilai mata uang dinar dan dirham merupakan modal dasar kegiatan ekonomi riil. Karenanya, warga negara dan pengusaha di dalam negara Khilafah tidak memiliki kekhawatiran penurunan nilai kekayaannya sebagai akibat terjadinya inflasi dan fluktuasi kurs mata uang sebagaimana yang dialami oleh seluruh negara di dunia saat ini.

Negara Khilafah tidak akan pernah mengalami inflasi sebagaimana inflasi yang faktor utamanya disebabkan oleh gelembung ekonomi di negara-negara kapitalis. Inflasi di negara Khilafah hanya akan terjadi bila supply barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat tidak dapat mengimbangi kebutuhan (demand) total warga negara. Untuk memecahkan masalah inflasi ini, negara akan melakukan kebijakan yang bertujuan menyeimbangkan supply atas demand, baik dari sisi produksi maupun distribusi. Jika posisi keseimbangan telah tercapai, dapat dipastikan harga-harga barang dan jasa yang mengalami kenaikan akan kembali ke tingkat harga normal.

Di samping mengupayakan aspek teknis pemenuhan kebutuhan pasar, mekanisme syariah akan dijalankan sistem Khilafah untuk mencegah faktor-faktor spekulatif yang merusak pasar seperti penimbunan (ihtikar) komoditas, penipuan harga (ghabn), dan penipuan dalam transaksi jual beli (tadlis).

Mekanisme syariah juga akan mencegah penguasaan sumber daya alam dan barang tambang, fasilitas dan pelayanan publik oleh swasta dan asing melalui perangkat hukum kepemilikan umum. Dengan hukum kepemilikan umum, kepemilikan sumber daya alam dan public utilities sepenuhnya berada di tangan rakyat melalui negara. Mekanisme ini mencegah monopoli sekelompok kecil pemilik modal atas hajat hidup orang banyak sebagaimana yang terjadi di Indonesia dan dunia saat ini.

Monopoli yang dilegitimasi negara dalam bentuk undang-undang dan kebijakan liberal, menjadikan sebagian besar sumber daya alam Indonesia dikuasai asing. Sehingga sangat ironi negara yang kaya barang tambang ini sangat sulit menyediakan kebutuhan energi yang murah dan terjangkau bagi rakyatnya, sebagaimana krisis BBM dan listrik yang dialami rakyat indonesia.

Dalam konteks global, inflasi saat ini digerakan oleh lonjakan harga minyak dan pangan. Kenaikan harga minyak disebabkan oleh penguasaan perusahaan-perusahaan kapitalis atas sumber daya minyak baik dalam kerangka lifting maupun refinery, dan permainan spekulatif komoditas minyak di lantai bursa. Oleh sistem Khilafah, perusak-perusak ekonomi ini akan disingkirkan dan lantai bursa akan ditutup. Sementara harga komoditas pangan menjadi normal karena lahan-lahan pertanian yang sebelumnya dialihfungsikan untuk keperluan biofuels dikembalikan fungsinya untuk keperluan pangan.

Untuk menggerakan dunia usaha dari sisi permodalan, sistem Khilafah akan mengerahkan segenap kemampuan fiskalnya. Menyediakan lapangan kerja dan sumber permodalan bagi masyarakat merupakan kewajiban Khilafah. Dalam perkara ini tidak ada istilah laissez faire. Juga tidak ada bank sentral dan lembaga perbankan apalagi pasar modal. Untuk menghimpun dan menyalurkan modal bagi dunia usaha, sistem Khilafah mengaturnya dalam lembaga Baitul Mal yang langsung berada di bawah khalifah.

Khilafah akan menjadikan sebagian sumber-sumber penerimaan Baitul Mal dari pos Departemen Fai dan Kharaj untuk membangun ekonomi negara dan menyediakan permodalan bagi masyarakat. Bila tidak cukup, sebagian kelebihan dari harta milik umum yang dikelola dalam pos Departemen Harta Milik Umum akan disalurkan untuk kepentingan modal usaha warga negara. Dengan pola ini, sistem Khilafah memiliki peranan besar dalam mendorong dan mengamankan perekonomian negara.

Meskipun beban Khilafah sangat besar dalam memikul tanggung jawab hajat hidup masyarakat, Khilafah tidak memiliki beban finansial dan beban moral sebagaimana yang dialami oleh negara-negara yang menganut sistem Kapitalisme. Setidaknya perekonomian nasional akan berjalan murah dan efisien mengingat sistem ekonomi yang diterapkan Khilafah tidak mengenal inflasi kapitalis, beban bunga, beban pajak, dan beban bubble economy seperti yang telah menimpa Indonesia dan dunia.

Di Indonesia, borok perbankan dan konglomerat Indonesia terungkap seiring dengan krisis moneter 1997/1998. Para konglomerat memanfaatkan lembaga bank yang mereka miliki dan bank milik pemerintah sebagai sarana menghisap dana masyarakat untuk membiayai pembangunan kerajaan konglomerasi mereka (pelanggaran BMPK). Ketika perbankan Indonesia bangkrut, utang-utang mereka diambil alih oleh negara melalui BLBI yang memakan dana tidak kurang Rp 250 trilyun.

Perbankan yang telah kolaps, oleh pemerintah dihidupkan kembali melalui penyertaan modal obligasi rekap dengan total nilai Rp 400 trilyun. Beban cicilan pokok dan bunga obligasi rekap kemudian dibebankan kepada APBN, sehingga rakyat harus menanggung hutang konglomerat dan kesalahan kebijakan pemerintah. Parahnya, sebagian besar bank yang telah disubsidi rakyat dan bekas aset-aset konglomerat diobral pemerintah dengan harga murah kepada asing dan konglomerat hitam.

Sementara krisis subprime mortgage AS yang menyebabkan kerugian US$ 2,4 trilyun dan kebangkrutan bank investasi Amerika, memaksa pemerintahan Presiden Bush mengeluarkan insentif fiskal antara US$ 140-150 (=Rp 1.288-1.380 trilyun). Dari sisi moneter, bank sentral AS, Federal Reserve menyuntikan dana US$ 200 milyar (=Rp 1.840 trilyun) ke dalam sistem keuangan Amerika.

Negara-negara Kapitalis menghabiskan dana publik dan kekuatan ekonominya hanya untuk memenuhi keserakahan modal para penjudi dan pemakan riba di sektor keuangan, sedangkan dana publik untuk pemenuhan hajat hidup orang banyak semakin dipersempit (dalam rangka program penyesuaian struktural). Sementara dalam sistem Khilafah, negara berfungsi sebagai “perisai” rakyat sehingga 100 persen pemasukan Baitul Mal digunakan untuk kemaslahatan agama dan umat menurut kaidah-kaidah pengelolaan keuangan negara yang telah dirumuskan syara.

F. Penutup: Goncang Dunia dengan Khilafah

Inilah Kapitalisme yang sangat jahat karena menyedot harta kekayaan masyarakat dunia melalui sistem perbankan, pasar modal, pasar uang, sekaligus menciptakan “uang palsu” (bubble economy) sehingga nilai kekayaan masyarakat dunia terus tergerus dan berpindah tangan ke dalam genggaman “penjudi berdasi”.

Kapitalisme merupakan sistem yang menyengsarakan dan memiskinkan kehidupan umat manusia. Sementara jantung Kapitalisme (sektor keuangan) telah tergoncang berkali-kali (global market crash) sehingga denyutnya semakin lemah, seakan-akan sifat self-destructive Kapitalisme itu sendiri membuat ideologi ini sedang menuju kematian.

Dunia sekarang membutuhkan solusi yang sistemik dan mampu mengeluarkan dari akar permasalahan goncangan pasar global. Sistem Khilafah merupakan sistem yang mampu menghapus akar permasalahan yang menimpa umat manusia saat ini. Sistem Khilafah juga merupakan kewajiban bersama bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakan syariah dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Karena itu jadilah bagian umat Islam yang memperjuangkan penegakan sistem Khilafah berdasarkan metode yang digariskan oleh Rasulullah SAW. Sebab sistem Khilafah pasti akan kembali sebagaimana hadis Rasulullah SAW: “Selanjutnya akan datang suatu kekhalifahan yang berjalan di atas manhaj kenabian” (H.R. Ahmad).

Mengapa banyak pelatihan (training) yang tidak efektif? Why some training did not work?

Oleh Irwan Hartanto

Teori lahir dari praktek dan praktek lahir dari teori.

Banyak pelatihan (training) yang tidak efektif karena dilakukan berdasarkan teori semata. Pelatih (trainer/instructor) yang kredibel akan membagi pengalaman mereka dalam bekerja dan kehidupan sehari hari-hari yang relevan dengan materi yang disampaikan. Karena banyaknya pengalaman dalam melakukan kegiatan (aktifitas) maka Pelatih (trainer/instructor) dapat meng-ilustrasikan pengalamannya berdasarkan apa yang ia alami.

Tanpa banyaknya contoh contoh yang relevan dengan dunia usaha ataupun kegiatan yang riil, maka pelatihan (training) akan menjadi tidak efektif; tidak membumi dan tidak berkesan.

Ditambah lagi dengan persoalan kultur budaya Indonesia yang ‘sopan’. Pada umumnya orang Indonesia tidak serta merta spontan dalam berkomentar di depan umum dalam merespon sesuatu. Kultur ini juga yang menjadi masalah dalam pelatihan; tidak adanya koreksi yang spontan dari peserta dapat membuat orang kehilangan arah (misleading).

Dalam program pelatihan (training), adalah tanggung jawab semua pihak untuk mengerti dan mengamati penyimpangan penyimpangan fakta maupun pendapat. Peserta yang aktif dan spontan dalam merespon semua yang diberikan seringkali di ‘cap’ sebagai orang yang ‘sok pintar’ atau ‘pengacau’ (trouble maker) di dalam kultur Indonesia. Padahal di kultur barat, sikap resposif yang spontan inilah yang menjadi kekuatan struktur social, dan orang orang yang spontan dan responsif dalam men-sikapi suatu hal menjadi pemimpin (leader) dalam lingkungannya.

Pelatihan yang efektif harus memicu spontanitas dan respon dari pada peserta, tapi bagaimana memicu kultur budaya ‘sopan’ yang terjadi pada sesi pelatihan (training session)?

Seorang pelatih (trainer/instructor) harus dapat membuat suasana santai, nyaman dan bersahabat. Suasana seperti inilah yang akan mengembangkan dan meningkatkan dinamika kelompok (group dynamic) dan menjadikan pelatihan (training) menjadi efektif dan berkesan.

Sabtu, 01 November 2008

Mentalitas Rakus Pemicu Krisis Keuangan Amerika, Kata PM Rudd



Brisbane (ANTARA News) - Perdana Menteri Australia Kevin Rudd menyalahkan mentalitas dan ideologi rakus sebagai pemicu krisis ekonomi Amerika Serikat (AS) yang berdampak terhadap sektor keuangan global.

Rudd menuding kondisi buruk di sektor keuangan AS itu sebagai akibat ideologi pasar bebas ekstrim yang rakus atas integritas, kreasi nilai, dan hanya mengutamakan kepentingan jangka pendek, katanya seperti dikutip AAP, Senin.

"Mungkin inilah saatnya kita mengakui bahwa kita tidak sepenuhnya mengambil pelajaran dari ideologi `rakus itu baik`," katanya.

PM Rudd menekankan pentingnya diambil langkah-langkah reformatif untuk mengembalikan kepercayaan dan stabilitas pasar keuangan dunia dalam jangka panjang.

Pengembalian kepercayaan dan stabilitas pasar keuangan dunia itu menuntut adanya regulasi keuangan global yang didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi yang mendasar, standar kehati-hatian yang konservatif, serta adanya universalitas.

Terlepas dari kritiknya, PM Rudd sendiri menyambut hangat persetujuan DPR AS atas penyaluran dana talangan sebesar 700 miliar dolar AS atau sekitar Rp6.580 triliun ke sejumlah korporasi keuangan bermasalah di negara itu.

Krisis ekonomi AS saat ini tidak dapat dilepaskan dari masalah pembiayaan kredit properti (subprime morgage) yang tidak hati-hati. (*)

Bank Dunia: Negara Berkembang Hadapi Konsekuensi Serius Krisis Keuangan

Ditulis oleh Ruswandi di/pada Oktober 14, 2008

Washington ( Berita ) : Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), Ahad, memperingatkan bahwa negara berkembang dapat menanggung konsekuensi serius krisis keuangan.

“Negara berkembang dan dalam peralihan (DRC) dapat mengalami konsekuensi serius dari setiap pengetatan kredit berkepanjangan atau kemunduran global yang berkelanjutan,” demikian antara lain isi komunike yang disiarkan setelah pertemuan Komite Pembangunan Bank Dunia dan IMF.

“Kami prihatin dengan dampak kekacauan di pasar keuangan dunia dan harga pangan serta bahan bakar yang tetap tinggi,” kata komunike tersebut. “Kami menyambut baik komitmen negara anggota untuk melakukan kerjasama dan tindakan menyeluruh guna memulihkan kstabilan keuangan dan berfungsinya pasar kredit secara baik,” katanya.

Kelompok Bank Dunia (WBG) dan IMF harus membantu menangani tantangan kritis itu, terutama dampak pada negara berkembang, dan mengambil pelajaran dari krisis saat ini, kata komunike tersebut.

“Akan penting untuk mempertahankan pusat perhatian pada dukungan bagi pertumbuhan yang berkesinambungan, pengentasan orang miskin, dan tercapainya Sasaran Pembangunan Milenium (MDG),” katanya.

Presiden Bank Dunia Robert Zoellick mengatakn setelah pertemuan itu bahwa Bank Dunia akan membantu negara berkembang memperkuat ekonomi mereka, mendorong sistem keuangan mereka dan melindungi orang miskin dari kekacauan keuangan di semua pasar internasional.

“Negara berkembang, banyak di antaranya sudah menghadapi pukulan keras akibat tingginya harga energi dan kebutuhan pokok, terancam mengalami kemunduran sangat serius dalam upaya mereka meningkatkan standard hidup penduduk mereka dari pengetatan kredit berkepanjangan atau kemunduran global yang berksesinambungan,” kata Zoellick pada suatu taklimat.

“Kelompok paling miskin dan rentan menghadapi resiko kerugian paling serius, dan dalam beberapa kasus permanen.

Bank Dunai belum lama ini telah mengumumkan bahwa fasilitas keuangan cepat senilai 1,2 miliar dolar AS akan menyediakan bantuan segera buat banyak negara dalam menanggulangi dampak harga pangan yang tinggi buat orang miskin dan sebanyak 850 juta dolar AS sudah disetujui atau siap disalurkan, kata pemimpin Bank Dunia itu.

“Kami mensak semua negara untuk mempertimbangkan pemberian sumbangan bagi dana ini. Australia baru-baru ini sudah menyumbang 50 juta dolar AS, tapi kami memerlukan lebih banyak lagi,” katanya.

Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss-Kahn juga mengatakan pada taklimat tersebut bahwa dunia tak boleh melupakan krisis lain. Ia merujuk kepada krisis kenaikan harga pangan dan energi di negara miskin.

Strauss-Kahn memuji rencana aksi Eurozoone untuk menanggulangi krisis keungan itu. Ia juga mendesak pemerintah AS agar menerapkan rencana penjaminan segera senilai 700 miliar dolar AS guna menstabilkan pasar keuangan. ( ant/xinhua )

Mengapa Krisis Keuangan Amerika Berbahaya?

Ditulis oleh Ruswandi di/pada Oktober 8, 2008

Ulasan berikut ini singkatnya untuk menjawab pertanyaan pada judul diatas;
Mengapa Krisis Keuangan Amerika Berbahaya? Mengapa? Sampai-sampai Bush sendiri mengingatkan para anggota Kongres bahwa jika bailout program tidak disetujui, maka perekonomian Amerika diambang kehancuran. Bukankah krisis itu sepatutnya terisolasi di lingkungan keuangan? Mengapa harus mengancam seluruh system perekonomian?

Runtuhnya system keuangan betul akan menghancurkan perekonomian raksasa Amerika, tak peduli seberapa besar perekonomian itu. Kata kuncinya ada pada gurita credit system di perekonomian Amerika (ingat kasus awal krisis ini, sub-prime mortgage). Aplikasi keuangan; perbankan, mortgage, asuransi, reksadana, pasar modal, pasar komoditi, pasar derivative, berikut dengan baragam variatifnya
produk masing-masing aplikasi telah menghubungkaitkan semua unit usaha di Amerika. Hubungan itu bukan lagi hubungan transaksi dan relasi bisnis tetapi sudah menjelma menjadi hubungan saling bergantung. Sentiment negative pada satu aplikasi keuangan tentu akan memberikan pengaruh pada semua aplikasi.

Prinsip bahwa sejumlah uang pasti akan memberikan keuntungan telah menghantarkan setiap unit bisnis Amerika pada manajemen likuiditas yang membuat mereka memandang industri keuangan sebagai alat; how makemoney more money. Dengan demikian atas alasan pengelolaan likuiditas, pengelolaan risiko dan tentu saja alasan orientasi profit, hampir semua unit bisnis melakukan penempatan di sector keuangan. Bisa dibayangkan berapa jumlah uang beredar yang akhirnya terkonsentrasi dalam sector keuangan. Ketimpangan sector riil dan keuangan menjadi konsekwensi logis.

Sejatinya return yang dijanjikan dalam sector keuangan berhulu pada aktifitas produktif sector riil, seperti misalnya return bagi bank berasal dari margin bunga dan pendapatan jasa yang berasal dari sector riil. Namun apa yang terjadi jika uang beredar yang semakin terkonsentrasi (money whirlpool) dijanjikan bunga
sementara sector riilnya semakin kerdil akibat uang beredar yang menetes ke sector ini semakin menyusut. Rasio volume transaksi keuangan dan riil jika semakin besar, maka akan tiba pada tingkat tertentu yang mengakibatkan ekonomi guncang. Guncang yang pada dasarnya karena margin bunga dan pendapatan jasa
(sector riil) semakin dilampaui oleh kewajibannya di sector keuangan.

Ketika krisis tersebut belangsung kuat dan lama, tentu saja akan mempengaruhi kemampuan produksi unit bisnis yang meletakkan likuiditasnya di lembaga-lembaga keuangan. Ketika lembaga keuangan banyak yang failure, maka nasabah mereka dari kalangan unit bisnis akan terkendala operasionalnya, karena lembaga keuangan tidak mampu melayani kewajibannya menyediakan likuiditas yang cukup, sesuai dengan kesepakatan.Dan program bailout, hakikatnya menambal ketidakmampuan lembaga keuangan.

Banyak ekonom Amerika sendiri menyangsikan apakan program bailout ini mampu mengembalikan performa ekonomi Amerika seperti sedia kala atau bahkan menghentikan laju krisis menuju resesi ekonomi. Meskipun mayoritas ekonom tersebut menyetujui bahwa pemerintah memang tidak memiliki pilihan apapun kecuali menghadang krisis ini dengan bailout. Keyakinan pada satu system yang memang harus dibayar mahal.

abiaqsa.blogspot.com

Krisis Keuangan Akan Menerpa Indonesia Lebih Dahsyat

Jumat, 10 Okt 2008 20:20 Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat dianggap justru dapat mendatangkan krisis yang lebih dahsyat di Indonesia, dibandingkan di negara asalnya. Sebab sudah ada gejala-gejala yang menunjukkan indikasi ke arah tersebut.

Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat dianggap justru dapat mendatangkan krisis yang lebih dahsyat di Indonesia, dibandingkan di negara asalnya. Sebab sudah ada gejala-gejala yang menunjukkan indikasi ke arah tersebut.

Ekonom INDEF Iman Sugema mengatakan, salah satu indikasinya adalah laju penurunan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang jauh lebih besar dibandingkan laju penurunan di Dow Jones AS.

"Laju penurunan di BEI sekarang jauh lebih besar dibandingkan laju penurunan di AS sekalipun. Indonesia 47,1 persen saham terkoreksi dari nilai saham tertinggi. Dow Jones hanya 30 persen. Thailand waktu itu (krisis 1997-1998) depresiasinya hanya sekitar 30 persen, Indonesia 70 persen," katanya dalam diskusi di Gedung DPR, Jumat (10/10).

Indikasi lainnya, suspensi yang dilakukan di BEI selama tiga hari ini, menurutnya langkah yang tak dilakukan AS sebagai negara yang menjadi sumber krisis. "Di Indonesia, krisis ini lebih dahsyat dibanding AS sendiri dan Eropa. Oleh karena itu, harap perhatikan hal-hal seperti ini jangan dianggap enteng," ujar dia.

Sehingga, lanjutnya, sangat salah apabila pemerintah mengatakan fundamental Indonesia akan aman-aman saja, dan tidak akan berpengaruh terhadap kemiskinan.

Pemicu krisis tahun 1997-1998 juga dikatakan Iman sama dengan pemicu krisis yang terjadi pada tahun ini, yaitu faktor eksternal. Krisis keuangan global bermula dari AS. Kredit perumahan di negeri itu macet dan membuat banyak firma keuangan bangkrut seperti Lehman Brothers dan Washington Mutual.

Pernyataan Iman itu, diamini oleh ekonom ECONIT Hendri Saparini. Bahkan Ia mengatakan, selama ini pemerintah menggunakan paradigma yang salah dengan mengikuti konsensus Washington, sehingga tidak ada kebijakan yang mampu diambil pemerintah.

Karena itu, Hendri menyarankan, pada kondisi seperti saatnya pemerintah dapat menunjukaan keberpihakannya kepada kelompok menengah bawah."Tahun 1998 kelompok menengah bawah mengalami krisis tapi yang mengalami recoveri paling cepat adalah kelompok menengah atas, hal itu tidak boleh lagi terjadi," ujarnya.

Selain itu, Ia menambahkan, Pemerintah harus bisa memilih kebijakan yang dapat memperkecil resiko ekonomi. Karena perlu melakukan restrukturisasi, sebab selama ini realisasi budget sangat lemah. "Pemerintah harus merevisi asumsi makro ekonomi jangan sampai terjadi kesalahan yang sangat fatal," pungkasnya. (novel)