Goncangan Pasar Global dan Urgensi Khilafah
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang terombang-ambing kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. … “ (T.Q.S. al-Baqarah ayat 275).
A. Pengantar
Jurnal-ekonomi.org - Bursa saham dunia kembali mengalami keanjlokan (crash) luar biasa. Pada perdagangan Rabu (18/6/2008) indeks bursa Eropa mengalami kejatuhan menyusul aksi jual yang dilakukan oleh para penjudi di lantai bursa. Indeks FTSE 100 merosot 1,53%, Indeks Paris CAC 40 turun 1,23%, Indeks DAF 30 Frankfurt turun 0,6%, Euro Stoxx 50 turun 0,98%.
Sementara itu bursa Asia Pasifik mengalami pukulan yang cukup kuat. Indeks Nikei Jepang 225 turun 2%, Indeks S&P/ASX 200 Australia turun 1,1%, Indeks Kospi Korea Selatan turun 1,4%. Indeks Weighted Price Taiwan anjlok 1,5%, Indeks Straits Times Singapura turun 1,3%, dan NZX-50 Selandia Baru turun 1,3%. Indeks Hang Seng Hong Kong jatuh 1,4%, Indeks Gabungan Shanghai anjlok 1,5%, Indeks Gabungan KLSE Malaysia turun 1,5%, sedangkan IHSG Jakarta tertekan 0,2%.
Kerontokan bursa saham dunia terjadi menyusul laporan tentang akan terjadinya kehancuran pasar global (Global Market Crash). Surat kabar Inggris Telegraph (19/6/2008) memberitakan peringatan analis Royal Bank of Scotland (RBS) bahwa bursa global akan mengalami goncangan dalam tiga bulan ke depan sebagai akibat tingginya tingkat inflasi dunia. Analis senior Royal Bank of Scotland, Bob Janjuah mengatakan “sebuah periode yang sangat buruk akan segera menghampiri kita, bersiaplah.”
Secara rasional, dentuman inflasi di seluruh dunia menyebabkan pelemahan daya beli masyarakat internasional. Penurunan sisi demand menyebabkan anjloknya pendapatan perusahaan-perusahaan besar yang tercatat (listing) di bursa efek sehingga kondisi ini memicu aksi jual para “penjudi berdasi” di bursa efek untuk menghindari kerugian yang lebih besar.
B. Resesi AS
Di AS, gelombang harga minyak dan melemahnya permintaan masyarakat menyebabkan penurunan kinerja perusahaan raksasa ekspedisi FedEx. Kaitan penurunan pendapatan FedEx dengan pasar modal di AS adalah setiap kerugian FedEx berdampak pada penurunan keuntungan (deviden) yang diperoleh para pemegang saham FedEx.
Dalam publikasi Market Wacth (18/6/2008) dilaporkan periode kuartal kedua hingga Mei 2008 FedEx kehilangan pendapatan sebesar US$ 241 juta atau setara Rp 2,217 trilyun dengan kurs Rp 9.200 per dollar AS. Penurunan ini setara dengan penurunan laba per saham FedEx sebesar US$ 78 sen. Untuk periode tahunan, kerugian FedEx mencapai US$ 610 juta (=Rp 5,612 trilyun) setara US$ 1,96 per lembar saham.
Kerugian yang dialami FedEx mencerminkan dua sisi: pertama, turut mendorong penurunan perdagangan saham di Wall Street, AS. Indeks Dow Jones pada perdagangan Rabu (18/6/2008) sempat melemah di bawah level 12.000 yang merupakan posisi terendah dalam 3 bulan terakhir. Sebagaimana diberitakan media, pelemahan di bursa AS ini dipicu oleh pelemahan saham-saham sektor perbankan, otomotif, dan transportasi.
Kedua, sebagai perusahaan jasa kurir yang cukup dominan, penurunan pendapatan FedEx merupakan gambaran semakin turunnya aktivitas pengiriman barang baik di dalam negeri AS maupun di luar negeri. Kondisi ini menggambarkan sektor riil Amerika mengalami pelambatan akibat membengkaknya biaya produksi dan menurunnya daya serap pasar. Kondisi ini merupakan fakta bahwa negara kapitalis terbesar ini mengalami resesi ke arah yang lebih parah.
Sementara itu dalam berita Market Wacth (17/6/2008), Bank sentral AS The Fed melaporkan sektor industri AS mengalami penurunan produksi 0,2 persen. Penurunan ini sebelumnya tidak diperkirakan para ahli ekonomi di AS. Laporan ini menunjukan industri Amerika dalam bulan-bulan mendatang memasuki masa sulit. Pada tahun lalu, produksi industri AS juga mengalami penuruan 0,1 persen (year-over-year) yang merupakan penurunan pertama kali sejak Juni 2003.
Pada pertengahan Maret 2008, Martin Feldstein Ekonom Universitas Harvard yang juga Presiden Biro Nasional Riset Ekonomi AS (NBER), memperingatkan perekonomian AS sudah memasuki resesi yang terparah sejak Perang Dunia II. “Saya yakin ekonomi AS sekarang dalam resesi” kata Feldstein. Paska Perang Dunia II perekonomian AS telah mengalami 10 kali resesi.
Dari sisi fiskal, APBN AS pada 2008 mengalami defisit sebesar US$ 239 milyar (=Rp 2.198,8 trilyun) dengan peningkatan hutang negara 11,74% dalam waktu dua tahun. Tahun 2006 hutang pemerintah AS mencapai US$ 8,451 trilyun (=Rp 77.749 trilyun) dan tahun 2008 membengkak menjadi US$ 9,575 trilyun (=Rp 88.090 trilyun). Ini artinya dalam dua tahun terakhir, setiap hari hutang pemerintah Amerika bertambah US$ 1,539 milyar (=Rp 14,165 trilyun). Sementara dengan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) US$ 14,711 trilyun, (=Rp 135.341,2 trilyun), maka hutang pemerintah Amerika mencapai 65,09 persen sektor riil AS.
C. “Hantu Inflasi”
Dalam ekonomi kapitalis, inflasi selalu menghantui perekonomian negara manapun di dunia. Bahkan Presiden AS era 80-an Ronald Reagen sebagaimana dikutip The Economist (22/5/2008) pernah menyebut inflasi dengan sebutan kejam, perampok, menakutkan, perampok bersenjata, mematikan, dan pembunuh bayaran.
Inflasi bagi sektor finansial bagaikan gelombang kejut yang menjatuhkan indeks bursa saham global, sebagaimana peringatan RBS akan datangnya masa kehancuran pasar modal dunia disebabkan kuatnya tekanan inflasi yang berasal dari melonjaknya harga komoditas minyak mentah (crude oil) dan komoditas pangan.
The Economist (22/5/2008) melaporkan inflasi tahunan terkini di sebagian besar negara mengalami peningkatan yang sangat siknifikan. Cina mengalami inflasi sebesar 8,5% tertinggi selama 12 tahun terakhir. Inflasi di Rusia naik dari 8% menjadi 14%, India 7,8% tertinggi dalam 4 tahun terakhir, Brazil naik dari 3% menjadi 5%, Chile naik dari 2,5% menjadi 8,3%, Venezuela 29,3%. Sementara negara-negara timur tengah penghasil minyak inflasinya tergerek ke dua digit. Menurut The Economist, data-data inflasi ini harus diperbaharui menyusul semakin membumbungnya harga minyak mentah dunia.
Di negara maju seperti Inggris, inflasi tahunan untuk Mei (year on year) mencapai 3,3%. Tingkat inflasi ini jauh melebihi target inflasi tahunan pemerintah Inggris sebesar 2% dan memecahkan rekor inflasi tertinggi yang pernah dialami Inggris sejak Januari 1997. Gubernur Bank of England Mervyn King menyatakan penyebab inflasi yang melampaui target adalah melambungnya harga minyak dan komoditas pangan.
Di Indonesia, dampak kenaikan harga minyak dunia sangat terasa setelah pemerintah “membudakan diri” sebagai abdi pasar bebas dengan menaikan harga BBM rata-rata 28,7%. Menurut BPS, inflasi bulan Mei melonjak menjadi 1,41%. Sementara itu Bank Indonesia melalui Deputi Gubernur BI Hartadi A. Sarwono menyatakan inflasi pada bulan Juni akan tetap terpengaruh penaikan harga BBM. Menurut Dr. Hendri Saparini dalam sebuah seminar ekonomi di Banjarmasin bulan lalu, seharusnya tingkat inflasi jauh lebih besar dari tingkat inflasi yang dilaporkan BPS. Sebab bertambahnya beban masyarakat Indonesia yang mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah tidak dapat digambarkan oleh angka inflasi yang dilaporkan BPS.
Di negara berkembang lainnya seperti Mesir, inflasi menjadi ancaman berat bagi negeri tempat berdirinya Universitas al-Azhar. Menurut statistik yang dikeluarkan pemerintah Mesir, ancaman terlihat dari membumbungnya harga makanan dan minuman hingga 27%, transportasi 20,1%, pendidikan 37,7%, dan pelayanan kesehatan 12,1%. Sementara di Cina harga pangan melonjak 22%.
D. Rontok Karena Ekonomi Setan
Dalam Q.S. al-Baqarah ayat 275, Allah SWt mengatakan: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang terombang-ambing kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila”. Menurut Buya HAMKA dalam Tafsir al-Azhar, orang yang memakan riba bagaikan orang yang kacau, gelisah, dan resah karena kerasukan setan.
Rontoknya pasar modal dunia Rabu lalu (18/6/200) akibat tekanan inflasi merefleksikan ketakutan dan kekacauan para “penjudi berdasi” akan kehilangan laba di lantai bursa. Mereka berbondong-bondong menjual surat-surat berharga sehingga indeks bursa efek di seluruh dunia mengalami pukulan telak hanya dalam satu hari.
Pengalaman krisis subprime mortgage AS sejak 2007 menyebabkan para “penjudi berdasi” kelas kakap mengalami kerugian hebat. Krisis subprime mortgage AS berdampak pada jatuhnya nilai kapital pasar modal berbasis surat berharga perumahan kelas dua di Amerika sebesar 12% atau US$ 2,4 trilyun (=Rp 22.080 trilyun) dari US$ 20 trilyun menjadi US$ 17,6 trilyun.
Standard & Poor’s (9/2/2008) merilis sebuah laporan yang memaparkan pasar modal dunia pada bulan Januari 2008 mengalami kerugian sebesar US$ 5,2 trilyun (=Rp 47.840 trilyun). Kerugian kaum kapitalis ini lebih dari 53 kali penerimaan pemerintah Indonesia dalam APBN-P 2008 (Rp 894,99 trilyun). Analisis Senior S&Ps, Howard Silverblatt mengatakan “Hanya sedikit tempat yang aman selama Januari, dimana 50 dari 52 pasar modal dunia mengakhiri bulan secara negatif, 25 di antaranya kehilangan 2 digit.”
Kerugian sistem keuangan Kapitalisme ini tidak serta merta membuat pelaku sektor keuangan jera bermain riba dan berjudi di lantai bursa. Otak para penjudi yang biasa disebut investor ini sudah tidak waras lagi sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah 275. Kaum kapitalis ini hanya memikirkan laba dan tidak memperdulikan penderitaan orang lain khususnya kesengsaraan masyarakat dengan ulah mereka menggelembungkan uang di lantai bursa.
Buya HAMKA dalam Tafsir al-Azhar memperingatkan bahwa perilaku riba merupakan suatu bentuk kejahatan. Kejahatan riba saat ini tidak lagi semata-mata sebagai pertukaran batil untuk mendapatkan keuntungan yang menyebabkan lawan transaksi mengalami kerugian. Kejahatan riba telah bermetamorfosis menjadi metode penjajahan kaum kapitalis untuk menghisap dan memperbudak masyarakat internasional melalui sistem mata uang kertas inkonvertibel (fiat money), penciptaan uang dalam sistem perbankan (Fractional Reserve system), dan penggelembungan uang dalam transaksi derivatif (derivative transaction) di pasar modal dan pasar uang.
Analis pasar modal Paul B. Farrel di situs Market Wacth menulis sebuah artikel sangat menarik dengan judul Derivatives the New ‘Ticking Bomb’. Dalam artikel tersebut, ia mengulang kembali peringatan yang pernah dilontarkan Warren Buffett lima tahun sebelum krisis subprime melanda AS. Warren Buffet menyatakan pertumbuhan transaksi derivatif yang bersifat masif dan tidak terkontrol dapat menjadi “senjata keuangan pemusnah massa” yang sangat berbahaya.
Peringatan Warren Buffet kini menjadi kenyataan pahit bagi negara-negara di dunia. Krisis subprime mortgage AS yang menyebabkan para fund manager raksasa rugi milyaran dollar AS membawa efek domino berupa krisis finansial yang lebih besar dan merembet pada kejatuhan ekonomi di sektor riil akibat melonjaknya harga minyak dan pangan.
Kerugian hebat di bursa saham tidak membuat nyali “perusak ekonomi” dunia turun. Para penjudi raksasa (fund manager) malah mencari sumber-sumber keuntungan baru untuk memuaskan kerakusan mereka. Selanjutnya mereka menjadikan bursa komoditas sebagai permainan spekulasi. Di tengah penderitaan masyarakat internasional khususnya masyarakat menengah ke bawah, para perusak ekonomi ini meraup untung ratusan milyar dollar AS dari perekayasaan harga minyak mentah dunia di bursa komoditas. Akibatnya harga komoditas paling penting ini mengalami lonjakan luar biasa dan sulit diterima akal sehat.
Betapa tidak, saat perekonomian dunia sedang mengalami kelesuan, industri manufaktur dan jasa transportasi mengalami penurunan, harga minyak mengalami boom. Seolah-olah semua sarana produksi, industri jasa transportasi, dan konsumsi energi rumah tangga mengalami boom pula. Kenyataan ini menggambarkan perkembangan harga minyak mentah sudah tidak sesuai lagi dengan mekanisme supply dan permintaan riil. Sebagaimana yang dikatakan sekjen OPEC, harga minyak melambung disebabkan oleh permainan spekulasi di bursa komoditas dan menurunnya nilai mata uang dollar Amerika.
Dampak dari tren harga minyak yang terus melambung, banyak negara khususnya AS mulai mengubah lahan-lahan pertanian menjadi lahan tanaman penghasil biofuels. Akibatnya produksi tanaman pangan untuk kebutuhan pangan dunia tergerus sehingga menyebabkan membumbungnya harga komoditas pangan di pasar internasional. Dunia pun saat ini diancam rusuh dan kelaparan. Betapa tidak, sejak awal tahun 2008 saja setiap hari 26.500 anak-anak mati setiap hari akibat kelaparan apalagi ketika harga-harga bahan pokok semakin mahal dan semakin sulit diperoleh.
Paul B. Farrel mengingatkan transaksi derivatif di bursa telah menjadi ancaman dunia. Menurut Paul transaksi derivatif merupakan sebuah dunia pasar gelap raksasa yang melebihi lalu lintas transaksi pasar gelap senjata, obat bius, alkohol, judi, rokok, pencurian, dan pembajakan film. Seperti dunia pasar gelap pada umumnya, transaksi derivatif merupakan cara kaum kapitalis menghindari pajak dan peraturan pemerintah untuk memperbesar pundi-pundi kekayaan mereka.
Kenyataan ini mendiskripsikan kepada kita bahwa transaksi derivatif di pasar modal selain batil karena berbasis riba dan judi, juga menjadi metode yang sangat jahat dengan mengunci perputaran uang hanya di dalam lantai bursa. Padahal Allah SWT telah melarang perputaran uang yang hanya terjadi di segelintir orang-orang kaya saja (lihat Q.S. al-Hasyr ayat 7), apalagi perputaran uang yang berbasiskan riba dan judi.
Menurut analisis Paul B. Farrel, perputaran uang di lantai bursa pada tahun lalu melonjak 5 kali lipat dibanding 2002. Pada tahun 2007, perputaran uang yang berasal dari transaksi derivatif mencapai US$ 516 trilyun (=Rp 4,747 juta trilyun) sementara tahun 2002 nilainya mencapai US$ 100 trilyun (=Rp 920 ribu trilyun). Berdasarkan data UNCTAD nilai perdagangan dunia tahun 2006 mencapai US$ 11,982 trilyun (=Rp 110 ribu trilyun), sehingga transaksi derivatif di pasar modal tahun 2007 lebih besar 43,36 kali lipat nilai ekspor-impor dunia tahun 2006.
Sangat tepat sebutan Warren Buffet dan Paul B. Farrel terhadap gelembung uang di pasar modal sebagai senjata pemusnah massa (weapon of mass destruction) karena sifatnya yang merusak dan menghisap. Dalam Q.S. al-Baqarah ayat 279 Allah SWT memperingatkan para pemakan riba seperti pelaku transaksi derivatif dengan ancaman keras, yakni akan diperangi Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT juga mengancam orang-orang seperti para investor di lantai bursa dengan ancaman siksaan yang pedih disebabkan mereka menjadikan uang sebagai alat untuk bermaksiat, memperkaya diri dengan cara memakan riba dan berjudi (lihat Q.S. at-Taubah ayat 34). Bahkan tidak jarang para “penjudi berdasi” ini melakukan penipuan seperti insider trading dan manipulasi laporan keuangan. Skandal penipuan keuangan terbesar di AS yang melibatkan perusahaan raksasa Enron dan Worldcom merupakan salah satu contohnya.
Dalam hadis riwayat Baihaki dan Hakim Rasulullah SAW menegaskan orang-orang yang memakan riba seperti para investor di lantai bursa akan terkena 73 tingkatan dosa riba dan yang paling ringan dosanya seperti seseorang yang menzinai ibu kandungnya.
Rasulullah juga memperingatkan orang-orang yang mengendapkan uang seperti penggelembungan uang di pasar modal dengan ancaman siksaan api neraka, sebagaimana peringatan Rasulullah atas wafatnya seorang ahli suffah yang kedapatan mengendapkan uang 1 dinar. Beliau mengatakan 1 kali celaka. Ketika ada lagi ahli suffah yang meninggal dan ditemukan ia mengendapkan uang sebanyak 2 dinar, Rasul SAW mengatakan 2 kali celaka (lihat Taqiyuddin an-Nabhani dalam Sistem Ekonomi Islam).
Jika terhadap ahli suffah yang notabene orang miskin mendapatkan siksaan di akhirat karena menimbun uang 1-2 dinar, maka tentu saja siksaan bagi para investor pasar modal yang memakan riba, menimbun uang dan menggelembungkan jutaan hingga trilyunan dollar AS di lantai bursa jauh lebih berat dan lebih pedih. Allah SWT berfirman dalam Q.S. at-Taubah ayat 35 dengan terjemahan sebagai berikut: “Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka.”
E. Urgensi Khilafah
Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi dalam Tafsir Sya’rawi Jilid 2 menjelaskan kata takhabbatuth (terombang-ambing) yang terdapat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 275 memiliki pengertian sebagai “keadaan yang tidak seimbang dan tidak terarah”. Makna ini menunjukan perekonomian kapitalis yang berbasis riba akan mengalami ketidakseimbangan (imbalance) baik dari sisi ketidakseimbangan nilai kapitalisasi pasar (bubble economy) di sektor finansial dengan nilai produktivitas (output) sektor riil, ketidakseimbangan antara sekelompok kecil pemilik modal yang menguasai aset riil dan aset keuangan dengan aset yang dimiliki mayoritas penduduk dunia, maupun ketidakseimbangan antara dana yang dialokasikan oleh negara-negara di dunia untuk membiayai kebutuhan publik dengan dana-dana subsidi yang diberikan kepada para pemilik modal di sektor keuangan. Kondisi ketidakseimbangan ekonomi dunia menyebabkan perekonomian bahkan masa depan dunia semakin tidak terarah kecuali penghisapan dan penjajahan.
Krisis finansial dan inflasi dunia merupakan sebuah realitas global yang datang secara berulang-ulang, menyebabkan kesengsaraan dan semakin memiskinkan masyarakat dunia. Kenyataan ini semestinya menggerakan pemikiran umat manusia untuk memahami akar masalah goncangan pasar global. Selanjutnya mendorong mereka mencabut akar masalah tersebut dan menggantinya dengan sistem yang stabil dan tidak eksploitatif.
Dalam konteks penyelesaian masalah yang komprehensif-solutif inilah, sangat relevan bagi masyarakat dunia pada umumnya dan kaum muslimin pada khususnya untuk segera menghadirkan sistem Khilafah sebagai alternatif Kapitalisme. Sistem Khilafah berbeda dengan sistem Kapitalisme yang bersifat destruktif dan eksploitatif. Sistem Khilafah merupakan sistem warisan Rasulullah SAW yang membawa misi rahmatan lil alamin dan bertujuan membebaskan umat manusia dari segala bentuk perbudakan sistem Kapitalisme, menuju penghambaan semata-mata kepada Allah SWT.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Khilafah akan menerapkan konstitusi/perundang-undangan dan kebijakan yang adil bagi seluruh warga negara serta membawa dampak positif bagi seluruh umat manusia. Keadilan sistem Khilafah adalah konsekwensi dari konsep (fikrah) dan metode (thariqah) yang diadopsi dari al-Qur’an dan as-Sunnah di dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan dalam hubungan internasional. Sistem ini berbeda 180 derajat dengan Kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan hawa nafsu dalam bentuk keserakahan modal sebagai panglima kebijakan negara (lihat Q.S. al-Maidah ayat 48).
Jika sistem Khilafah telah berdiri menyapa kaum muslimin dan masyarakat dunia, maka negara segera menghapus segala sistem transaksi dan kegiatan ekonomi yang berbasis riba. Sehingga tidak ada lagi individu, kelompok, bahkan negara asing seperti Amerika dan Jepang, yang hidup dari penghisapan harta. Sistem Khilafah akan mengubah pola perekonomian Kapitalis yang semu (bubble economy) menjadi perekonomian yang bergerak dari aktivitas produksi (pertanian dan industri), perdagangan dan jasa, serta konsumsi dalam batas koridor syara (lihat Q.S. al-Baqarah ayat 275).
Untuk memudahkan transaksi ekonomi dan memberikan penghargaan yang tinggi atas produktivitas dan jerih payah kerja manusia, sistem Khilafah akan menghapus sistem mata uang kertas dan menggantinya dengan sistem mata uang syari yaitu dinar dan dirham. Sistem mata uang ini berbasiskan logam mulia emas dan perak sehingga siapa pun yang menerima pembayaran dalam mata uang dinar dan dirham, dapat dipastikan nilai kekayaannya stabil sepanjang masa.
Stabilitas nilai mata uang dinar dan dirham merupakan modal dasar kegiatan ekonomi riil. Karenanya, warga negara dan pengusaha di dalam negara Khilafah tidak memiliki kekhawatiran penurunan nilai kekayaannya sebagai akibat terjadinya inflasi dan fluktuasi kurs mata uang sebagaimana yang dialami oleh seluruh negara di dunia saat ini.
Negara Khilafah tidak akan pernah mengalami inflasi sebagaimana inflasi yang faktor utamanya disebabkan oleh gelembung ekonomi di negara-negara kapitalis. Inflasi di negara Khilafah hanya akan terjadi bila supply barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat tidak dapat mengimbangi kebutuhan (demand) total warga negara. Untuk memecahkan masalah inflasi ini, negara akan melakukan kebijakan yang bertujuan menyeimbangkan supply atas demand, baik dari sisi produksi maupun distribusi. Jika posisi keseimbangan telah tercapai, dapat dipastikan harga-harga barang dan jasa yang mengalami kenaikan akan kembali ke tingkat harga normal.
Di samping mengupayakan aspek teknis pemenuhan kebutuhan pasar, mekanisme syariah akan dijalankan sistem Khilafah untuk mencegah faktor-faktor spekulatif yang merusak pasar seperti penimbunan (ihtikar) komoditas, penipuan harga (ghabn), dan penipuan dalam transaksi jual beli (tadlis).
Mekanisme syariah juga akan mencegah penguasaan sumber daya alam dan barang tambang, fasilitas dan pelayanan publik oleh swasta dan asing melalui perangkat hukum kepemilikan umum. Dengan hukum kepemilikan umum, kepemilikan sumber daya alam dan public utilities sepenuhnya berada di tangan rakyat melalui negara. Mekanisme ini mencegah monopoli sekelompok kecil pemilik modal atas hajat hidup orang banyak sebagaimana yang terjadi di Indonesia dan dunia saat ini.
Monopoli yang dilegitimasi negara dalam bentuk undang-undang dan kebijakan liberal, menjadikan sebagian besar sumber daya alam Indonesia dikuasai asing. Sehingga sangat ironi negara yang kaya barang tambang ini sangat sulit menyediakan kebutuhan energi yang murah dan terjangkau bagi rakyatnya, sebagaimana krisis BBM dan listrik yang dialami rakyat indonesia.
Dalam konteks global, inflasi saat ini digerakan oleh lonjakan harga minyak dan pangan. Kenaikan harga minyak disebabkan oleh penguasaan perusahaan-perusahaan kapitalis atas sumber daya minyak baik dalam kerangka lifting maupun refinery, dan permainan spekulatif komoditas minyak di lantai bursa. Oleh sistem Khilafah, perusak-perusak ekonomi ini akan disingkirkan dan lantai bursa akan ditutup. Sementara harga komoditas pangan menjadi normal karena lahan-lahan pertanian yang sebelumnya dialihfungsikan untuk keperluan biofuels dikembalikan fungsinya untuk keperluan pangan.
Untuk menggerakan dunia usaha dari sisi permodalan, sistem Khilafah akan mengerahkan segenap kemampuan fiskalnya. Menyediakan lapangan kerja dan sumber permodalan bagi masyarakat merupakan kewajiban Khilafah. Dalam perkara ini tidak ada istilah laissez faire. Juga tidak ada bank sentral dan lembaga perbankan apalagi pasar modal. Untuk menghimpun dan menyalurkan modal bagi dunia usaha, sistem Khilafah mengaturnya dalam lembaga Baitul Mal yang langsung berada di bawah khalifah.
Khilafah akan menjadikan sebagian sumber-sumber penerimaan Baitul Mal dari pos Departemen Fai dan Kharaj untuk membangun ekonomi negara dan menyediakan permodalan bagi masyarakat. Bila tidak cukup, sebagian kelebihan dari harta milik umum yang dikelola dalam pos Departemen Harta Milik Umum akan disalurkan untuk kepentingan modal usaha warga negara. Dengan pola ini, sistem Khilafah memiliki peranan besar dalam mendorong dan mengamankan perekonomian negara.
Meskipun beban Khilafah sangat besar dalam memikul tanggung jawab hajat hidup masyarakat, Khilafah tidak memiliki beban finansial dan beban moral sebagaimana yang dialami oleh negara-negara yang menganut sistem Kapitalisme. Setidaknya perekonomian nasional akan berjalan murah dan efisien mengingat sistem ekonomi yang diterapkan Khilafah tidak mengenal inflasi kapitalis, beban bunga, beban pajak, dan beban bubble economy seperti yang telah menimpa Indonesia dan dunia.
Di Indonesia, borok perbankan dan konglomerat Indonesia terungkap seiring dengan krisis moneter 1997/1998. Para konglomerat memanfaatkan lembaga bank yang mereka miliki dan bank milik pemerintah sebagai sarana menghisap dana masyarakat untuk membiayai pembangunan kerajaan konglomerasi mereka (pelanggaran BMPK). Ketika perbankan Indonesia bangkrut, utang-utang mereka diambil alih oleh negara melalui BLBI yang memakan dana tidak kurang Rp 250 trilyun.
Perbankan yang telah kolaps, oleh pemerintah dihidupkan kembali melalui penyertaan modal obligasi rekap dengan total nilai Rp 400 trilyun. Beban cicilan pokok dan bunga obligasi rekap kemudian dibebankan kepada APBN, sehingga rakyat harus menanggung hutang konglomerat dan kesalahan kebijakan pemerintah. Parahnya, sebagian besar bank yang telah disubsidi rakyat dan bekas aset-aset konglomerat diobral pemerintah dengan harga murah kepada asing dan konglomerat hitam.
Sementara krisis subprime mortgage AS yang menyebabkan kerugian US$ 2,4 trilyun dan kebangkrutan bank investasi Amerika, memaksa pemerintahan Presiden Bush mengeluarkan insentif fiskal antara US$ 140-150 (=Rp 1.288-1.380 trilyun). Dari sisi moneter, bank sentral AS, Federal Reserve menyuntikan dana US$ 200 milyar (=Rp 1.840 trilyun) ke dalam sistem keuangan Amerika.
Negara-negara Kapitalis menghabiskan dana publik dan kekuatan ekonominya hanya untuk memenuhi keserakahan modal para penjudi dan pemakan riba di sektor keuangan, sedangkan dana publik untuk pemenuhan hajat hidup orang banyak semakin dipersempit (dalam rangka program penyesuaian struktural). Sementara dalam sistem Khilafah, negara berfungsi sebagai “perisai” rakyat sehingga 100 persen pemasukan Baitul Mal digunakan untuk kemaslahatan agama dan umat menurut kaidah-kaidah pengelolaan keuangan negara yang telah dirumuskan syara.
F. Penutup: Goncang Dunia dengan Khilafah
Inilah Kapitalisme yang sangat jahat karena menyedot harta kekayaan masyarakat dunia melalui sistem perbankan, pasar modal, pasar uang, sekaligus menciptakan “uang palsu” (bubble economy) sehingga nilai kekayaan masyarakat dunia terus tergerus dan berpindah tangan ke dalam genggaman “penjudi berdasi”.
Kapitalisme merupakan sistem yang menyengsarakan dan memiskinkan kehidupan umat manusia. Sementara jantung Kapitalisme (sektor keuangan) telah tergoncang berkali-kali (global market crash) sehingga denyutnya semakin lemah, seakan-akan sifat self-destructive Kapitalisme itu sendiri membuat ideologi ini sedang menuju kematian.
Dunia sekarang membutuhkan solusi yang sistemik dan mampu mengeluarkan dari akar permasalahan goncangan pasar global. Sistem Khilafah merupakan sistem yang mampu menghapus akar permasalahan yang menimpa umat manusia saat ini. Sistem Khilafah juga merupakan kewajiban bersama bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakan syariah dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Karena itu jadilah bagian umat Islam yang memperjuangkan penegakan sistem Khilafah berdasarkan metode yang digariskan oleh Rasulullah SAW. Sebab sistem Khilafah pasti akan kembali sebagaimana hadis Rasulullah SAW: “Selanjutnya akan datang suatu kekhalifahan yang berjalan di atas manhaj kenabian” (H.R. Ahmad).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar